Seorang mujtahid sudah
mendapati suatu hadits dan yakin akan keshahihan jalur sanadnya, akan tetapi ia
memahaminya dengan tidak tepat. Akibatnya, ia pun keliru dalam berijtihad dan
timbullah ikhtilaf.
Kasus perbedaan tafsir
kalimat } أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء { (menyentuh perempuan) dalam QS An Nisaa’ ayat 43 menjadi salah satu contoh
yang akan dipaparkan di sini. Dalam ayat tersebut, Allah ‘azza wa jalla
berfirman:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
“…Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). Sapulah mukamu dan
tanganmu….”
Para ‘ulama rahimahumullaah berikhtilaf dalam memahami makna kalimat tersebut. Setidaknya ada 3 pendapat dalam
masalah ini:
1. Sekedar sentuhan sudah menjadi batal, baik sengaja ataupun tidak, baik
dengan istri ataupun selainnya.
2. Batal bila menyentuh dengan syahwat.
3. Berjima’ (berhubungan badan) dengan istri. Pendapat ini diambil oleh
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma.
Jadi, mana pendapat yang benar ?
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah mengomentari hal ini bahwa jika kita
perhatikan dari segala sisi serta diperkuat oleh ayat dan hadits lain tentang
masalah ini, maka pendapat yang benar adalah pendapat ketiga: berjima’. Sebab,
Allah menerangkan 2 jenis thaharah (bersuci) menggunakan air: thaharah dari
hadats kecil & dari hadats besar.
Mengenai hadats kecil,
Dia berfirman:
فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ
“…maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (QS Al Maa’idah
[5]: 6)
Sedangkan untuk hadats
besar, Dia berfirman }
وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ { “..dan jika kamu junub maka mandilah…” (QS Al Maa’idah
[5]: 6)
Al Qur’an memiliki
balaghah yang tinggi dan hal itu dapat ditemukan pada ayat-ayat dalam masalah
ini. Ketinggian balaghah ayat 6 Surah Al Maa’idah ini juga menyebutkan alasan/sebab
2 thaharah (kecil dan besar) dimasukkan ke dalam tayammum.
Ayat } أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ } “…atau kembali dari tempat buang air (kakus)..” mengisyaratkan
sebab thaharah dari hadats kecil. Sedangkan ayat أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء}
{ “…atau menyentuh perempuan…” mengisyaratkan sebab thaharah dari hadats
besar.
Andai
kita artikan “menyentuh” dalam ayat tadi sebagai sentuhan biasa, maka penyebutan
semua sebab-sebab pada ayat ini dipastikan termasuk dalam penyebab thaharah
dari hadats kecil dan tidak ada keterangan sebab untuk thaharah dari hadats
besar. Sehingga hal ini bertentangan dengan ketinggian balaghah yang seharusnya
dimiliki oleh ayat-ayat Al Qur’an.
Kasus kedua berkaitan dengan perbedaan ijtihad akibat salah dalam memahami dalil ialah kisah pelaksanaan shalat Ashar dalam perjalanan menuju wilayah bani Quraizhah yang sudah masyhur bagi kita (silahkan
merujuk ke Shahih Bukhari no. 894, 3810, dll). Suatu saat Nabi shallallaahu
‘alahi wasallam mengutus rombongan shahabat ke perkampungan Yahudi
bani Quraizhah. Sebelum pemberangkatan, beliau berpesan:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Jangan kalian shalat Ashar hingga tiba di perkampungan bani Quraizhah.”
Di tengah perjalanan, waktu
shalat Ashar telah datang. Para shahabat pun berikhtilaf dan mereka terbagi ke dalam 2 pendapat:
1. Harus melaksanakan shalat Ashar di tengah perjalanan meski belum tiba ke
tujuan. Sebab, shalat Ashar harus dilaksanakan di awal waktu dan tidak boleh diakhirkan.
Pendapat ini menafsirkan pesan Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam tadi
sebagai sebuah keharusan untuk tiba di bani Quraizhah pada saat waktu Ashar. Akan
tetapi karena adanya rintangan saat perjalanan, rombongan ini pun belum tiba.
2. Tidak melaksanakan shalat Ashar hingga tiba di perkampungan tersebut
walau sudah memasuki waktu malam.
Mana yang benar ?
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin rahimahullaah
mengomentari bahwa pendapat yang benar adalah shalat di awal waktu karena
nash-nash ayat dan hadits yang mewajibkan shalat di awal waktu termasuk nash
yang muhkamat dan sharih (jelas). Adapun pesan Nabi shallallaahu ‘alahi
wasallam tersebut masih musytabah (samar), sehingga nash yang muhkam harus
didahulukan daripada nash yang musytabah. Dengan demikian ucapan beliau tadi
mengandung maksud bahwa rombongan harus segera tiba di perkampungan bani Quraizhah
dan jangan sampai terlambat.
Sedangkan dalam Fathul-Baari’, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullaah mengatakan:
“Kesimpulan dari kisah ini ialah bahwa para shahabat ada yang memahami larangan ini
berdasarkan hakikatnya. Mereka tidak memperdulikan habisnya waktu sebagai
penguat larangan yang kedua terhadap larangan pertama yaitu menunda shalat
sampai akhir waktunya. Mereka menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya
menunda waktu shalat karena disibukkan oleh peperangan, sama halnya dengan
kejadian pada masa itu, dalam peristiwa Khandaq. Juga telah disebutkan dalam
hadits Jabir bahwa mereka shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam karena sibuk
berperang…Yang lain memahaminya sebagai kiasan untuk mendorong mereka agar
bersegera menuju Bani Quraizhah.
Dari hadits ini, jumhur (mayoritas ‘ulama) mengambil
kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad (meski keliru, red) karena
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat
tersebut.”
Dari kedua contoh di
atas, kita dapat menyimpulkan bahwa salah satu sebab ikhtilaf
(perselisihan/perbedaan) pendapat di kalangan ‘ulama ialah kekeliruan dalam
memahami dalil meskipun dalil itu sudah ia peroleh dan ia mempercayai keshahihan jalur
periwayatannya.
wallaahu a’lam.
Diringkas dari kajian Al Khilaaf baina Al ‘Ulamaa’ wa Asbaabuhu wa Mauqifunaa minhu, Kitaabul ‘Ilmi karya Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah dengan disertai kutipan tambahan.