Home » » Dalil-Dalil dari Kitabullah tentang Keutamaan Ilmu dan Keutamaan Orang yang Berilmu

Dalil-Dalil dari Kitabullah tentang Keutamaan Ilmu dan Keutamaan Orang yang Berilmu

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَعَلَّمَ ءَادَمَ الأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَآءِ هَؤُلآءِ إِن كُنتُم صَادِقِينَ {} قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ {} قَالَ يَآءَادَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّآ أَنبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman:"Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman:"Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan”
(QS. Al Baqarah [2]: 31-33)

Al Qurthubi rahimahullah berkata:

“Firman Allah Subhanahu wa ta’ala Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini di dalamnya ada lima permasalahan:

Pertama: Firman Allah subhanahu wa ta’ala: beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu Allah menyuruh untuk mengajarkan kepada mereka nama-nama benda tersebut setelah mengemukakannya kepada para malaikat, supaya mereka tahu bahwa dia lebih tahu dengan apa yang mereka tanyakan sebagai peringatan akan keutamaannya dan ketinggian kedudukannya, dan dia yang lebih diutamakan oleh Allah  daripada mereka dan mereka di perintahkan untuk bersujud kepadanya serta menjadikan mereka sebagai murid-muridnya dan menyuruh mereka untuk belajar darinya, sehingga dia mendapatkan tingkatan yang besar dan agung dengan menjadikannya sebagai orang yang mendapat sujud, diistimewakan dengan ilmu.

Kedua: di dalam ayat ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan keutamaan orangnya, dan di dalam hadits disebutkan:

وَإِنَّ المَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهاَ رِضاً لِطاَلِبِ العِلْمِ

“Dan sesungguhnya para malaikat akan menurunkan sayapnya dengan ridha kepada penuntut ilmu”

… artinya tunduk dan bertawadhu’, dan sesungguhnya para malaikat berbuat seperti itu khusus hanya kepada Ahlul ‘Ilmi diantara para makhluk Allah subhanahu wa ta’ala, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah melazimi hal itu bagi Adam ‘alaihissalaam sehingga dia beradab dengan adab ini. Setiap nampak suatu ilmu pada diri manusia maka para malaikat semakin tunduk dan merendahkan diri serta menghinakan diri sebagai bentuk penghormatan kepada ilmu dan orangnya, dan ridha terhadap mereka di dalam mencarinya dan menekuninya. Ini bagi para penuntut ilmu lalu bagaimana dengan para ulama’ mereka dan Rabbaniyyin di antara mereka? Semoga Allah menjadikan kita termasuk diantara mereka dan masuk di dalam golongannya, sesungguhnya Allah memiliki keutamaan yang besar”
[Tafsir Al Qurthubi I/288-289]

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأَنزَلَ اللهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”
(QS. An Nisaa’ : 113)

Ayat ini menunjukkan akan keutamaan ilmu menurut nashnya (konteksnya), karena firman Allah Subhanahu wa ta’ala “Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui” dan Allah mensifati ilmu ini dengan keutamaan yang besar maka Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman “ Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”.

Sebagaimana juga Allah memberikan anugerah kepada Nabi kita Shallallahu ‘alahi wasallam dengan kenikmatan ilmu, begitu juga Allah memberi anugerah kepada seluruh para nabi, Allah berfirman tentang nabi Ibraahiim:

يَآأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَآءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَالَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا

“Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang keadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang keadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus” (QS. Maryam : 43)

Juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang Ya’kub:

وَإِنَّهُ لَذُوا عِلْمٍ لِّمَا عَلَّمْنَاهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

“Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya” (QS. Yusuf : 68)

Juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang Yusuf:

وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ اْلأَحَادِيثِ

“Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi” (QS. Yusuf : 6)

Juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang Daawud Alaihis Salaam:

وَءَاتَاهُ اللهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَآء

“Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al Baqarah : 251).

Allah juga berfirman tentang Sulaiman Alaihis Salaam:

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَىْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ

“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu.Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata” (QS. An Naml : 16).

Allah juga berfirman tentang Isa Alaihis Salaam:

إِذْ قَالَ اللهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِى عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْأَيَّدتُّكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلاً وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَاْلإِنجِيلَ

“ketika Allah mengatakan: "Hai 'Isa putera Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada Ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil” (QS. Al Maa'idah : 110).

Sebagaimana Allah memberikan anugerah kepada para nabiNya, Allah juga memberikan anugerah kepada para hambanya yang mukmin pengikut para nabi, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ كَمَآأَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al Baqarah : 150-151).

Dan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيهِم رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيهِمْ آياَتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الكِتاَبَ وَالحِكْمَةَ وَإِنْ كاَنوُا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali Imraan : 164).

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah:"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (QS. Thaha : 114).

Imam Al Bukhaari rahimahullah menyebutkan di dalam bab Fadhlul ilmi (Keutamaan ilmu) pada awal kitab Al Ilmu dari Shahihnya,

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

"Firman Allah “dan katakanlah: "Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”: Merupakan penunjukan dalil yang jelas tentang keutamaan ilmu, karena Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyuruh NabiNya dengan meminta untuk ditambah dengan susuatu kecuali dari ilmu, dan yang dimaksud dengan ilmu itu adalah ilmu syar’iy yang memberikan manfaat untuk dapat memahami perkara-perkara yang wajib dari agamanya di dalam ibadah dan mu’amalahnya, dan berilmu tentang Allah dan sifatNya dan hal-hal yang wajib untuk ditegakkan perintahnya, membersihkannya dari kekurangan-kekurangan, dan semua hal itu terdapat diseputar ilmu tafsir, hadits dan fiqh)"
[Fathul Baari I/141]

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

فوجد عبدا من عبادنآ ءاتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علما {} قال له موسى هل أتبعك على أن تعلمن مما علمت رشدا

“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr:"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu” (QS. Al Kahfi : 65-66)

Ayat ini berkenaan dengan Musa dan Khidir Alaihimas Salaam, dan ayat ini menyerupai ayat sebelumnya pada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alahi wasallam “dan katakanlah: "Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” disini Musa juga meminta tambahan ilmu dan berusaha demi untuk mendapatkannya dan mencarinya walaupun dari orang yang lebih sedikit kemuliaannya.

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam:

بَيْنَماَ مُوسَى فِي مَلَأِ مِن بَنِى إِسْراَئِيلِ إِذ جاَءَهُ رَجُلٌ فَقاَلَ: هَل تَعْلَمُ أَحَداً أَعْلَمُ مِنكَ؟ قاَلَ مُوسَى: لاَ, فَأَوحَى اللهُ إِلَى مُوسَى: بَلَى, عَبْدُناَ خَضِر, فَسَأَلَ مُوسَى السَّبِيلَ إِلَيهِ, فَجَعَلَ اللهَ لَهُ الحُوتَ آيَةً, وَقِيلَ لَهُ: إِذاَ فَقَدْتَ الحُوتَ فاَرْجِعْ فَإِنَّكَ سَتَلْقاَهُ وَكاَنَ يَتَّبِعُ أَثَرُ الحُوتَ فِي البَحْرِ, فَقاَلَ لِمُوسَى فَتاَهُ: أَرَأَيْتَ إِذاَ أَوَيناَ إِلَى الصَخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيْتُ الحُوتَ وَماَأَنْساَنِيهُ إِلاَّ الشَيْطاَنَ أَن أَذْكُرَهُ, قاَلَ: كَذَلِكَ ماَ كُنَّا نَبْغِى, فاَرْتَداَ عَلَى آثاَرِهِماَ قَصَصاً, فَوَجَدَ خَضِراً, فَكاَنَ مِن شَأْنِهِماَ الذِّي قَصَّ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتاَبِهِ

“Ketika Musa bersama pembesar Bani Israail ketika itu datang seseorang dan berkata: Apakah kamu tahu ada seseorang yang lebih tahu dari kamu? Musa berkata: Tidak! Maka Allah mewahyukan kepada Musa: Ya! Yaitu hamba kami Khadhir, maka musa meminta jalan menuju kepadanya, lalu Allah menjadikan baginya ikan hiu sebagai tanda, lalu dikatakan kepadanya: Jika ikan hiu telah menghilang maka pulanglah nanti kamu akan bertemu dengannya, lalu dia mengikuti jejak-jejak ikan hiu di laut, maka berkatalah muridnya kepada musa: Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali, Musa berkata:"Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula, lalu keduanya mendapati Khidir, keduanya telah diceritakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam KitabNya"
[HR Al Bukhaari no. 74]

Ini adalah penggunaan dalil yang paling jelas tentang keutamaan ilmu karena Musa berusaha untuk mencarinya padahal dia termasuk dari para ulul azmi diantara para Rasul untuk mendapatkan ilmu walaupun dari orang yang lebih sedikit keutamaannya yaitu Khidir, sedangkan tentang adanya tingkatan keutamaan dari keduanya 

Ibnu Hajar
 rahimahullah berkata:

"Khidir walaupun juga seorang nabi namun bukan seorang Rasul menurut ijma’ (kesepakatan), dan para Rasul lebih utama dari pada para Nabi yang bukan Rasul, walaupun kita dudukkan bahwa dia sebagai Rasul maka Risalah Musa lebih besar dan umatnya lebih banyak, sehingga dia yang lebih utama, dan tujuan khidir seperti salah satu para nabi dari bani israil dan musa adalah lebih utama daripada mereka, dan jika kami katakan khidir itu bukan seorang nabi namun dia adalah seorang wali, maka nabi lebih utama daripada wali dan itu adalah perkara yang sudah jelas menurut akal maupun menurut naql (Al Qur-aan dan As Sunnah) dan orang yang tetap menyelisihinya adalah kafir karena itu adalah perkara yang sudah diketahui oleh syareat secara pasti"
[Fathul Baari I/221]

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُوا الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali Imraan : 18)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang ayat ini:

"Allah mengambil kesaksian dengan orang yang memiliki ilmu dengan kesaksian yang paling jelas yaitu dengan tauhidnya, sehingga Dia berkata “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan, Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)” ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan orang-orangnya menurut beberapa segi,
pertama: kesaksian bagi mereka yang tidak ada kesaksian kepada selain mereka dari para manusia,
kedua: keterkaitan kesaksian mereka dengan kesaksian Allah,
ketiga: keterkaitannya dengan kesaksian para malaikat,
keempat: sesungguhanya jaminan dari hal ini adalah kesucian dan keadilan mereka, karena sesungguhnya Allah tidak mengambil kesaksian dari para makhluknya kecuali yang adil, diantaranya juga terdapat atsar yang sudah diketahui dari Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam:

يَحْمِلُ هَذاَ العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفِ عُدُوْلِهِ, يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغاَلِيْنَ وَانْتِحاَلِ المُبْطِلِينَ وَتأْوِيْلِ الجاَهِلِينَ

“Sesungguhnya yang mengemban ilmu ini adalah orang-orang yang adil, dengannya mereka menghilangkan penyelewengan-penyelewengan orang-orang yang ekstrimis, pendapat orang-orang yang menyeleweng dan takwilnya orang-orang yang bodoh”

--- hingga beliau berkata --- :

keenam: sesungguhnya Allah mengambil kesaksian oleh dirinya sendiri dan itu adalah orang yang paling besar kesaksiannya kemudian dengan makhluk-makhluknya yang paling baik kemudian para malaikat dan para ulama’ dari hamba-hambanya, dan cukuplah ini merupakan keutamaan dan kemuliaan".
[Miftaahu Daarus Sa’aadah, hal. 48-49]

Al Qurthubi rahimahullah berkata:

"Dalam ayat ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan kemuliaan para ulama’ serta keutamaan mereka, sesungguhnya jika ada seseorang yang lebih utama dari pada ulama’ pasti Allah akan menghubungkan (mengkaitkan) dengan namaNya dan nama para malaikatNya sebagaiamana Allah mengkaitkan nama para ulama’ dengan namaNya"
[Tafsir Al Qurthubi IV/41]

Abu Hamid Al Ghazaali rahimahullah juga memiliki perkataan yang serupa dengan itu tentang ayat ini dalam kitabnya Ihyaa’ Uluumud Diin I/15

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا اْلأَلْبَابِ

“Katakanlah:"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az Zumar : 9)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menafyikan adanya persamaan antara ahlilllah (keluarga Allah) dengan selain mereka sebagaimana menafyikan (menghilangkan) persamaan antara penghuni surga dengan penghuni neraka, maka Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Tidak sama antara para penghuni neraka dengan para penghuni surga” ini menunjukkan akan keutamaan dan kemuliaan mereka yang tertinggi" 
[Miftaahu Daarus Sa’aadah, hal. 49]

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ

“Adakah orang yang mengetahui bahwasannya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (QS. Ar Ra’du : 19).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

"Sesungguhnya Allah menjadikan orang-orang yang bodoh itu kedudukannya seperti orang buta yang tidak dapat melihat “Adakah orang yang mengetahui bahwasannya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta” maka disana tidak ada kelompok lain kecuali orang yang berilmu atau orang yang buta, dan Allah telah mensifati orang yang bodoh bahwa mereka itu bisu, tuli, dan buta di beberapa tempat di dalam KitabNya". [Miftaahu Daarus Sa’aadah, hal. 49]


Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَاكُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَآءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah Kami.Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy Syuura : 52)

Maka Allah mensifati apa yang telah Allah wahyukan kepada nabiNya dengan sifat cahaya, yaitu Allah telah mewahyukan ilmu kepadanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَاجَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ

“Siapa yang membantahmu tentang kisah 'Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)” (QS. Ali Imraan : 61)

Jadi setiap kali bertambah jumlah ilmu seorang hamba maka bertambah pula jumlah cahaya petunjuk pada dirinya yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

أَوَمَنْ كاَنَ مَيْتاً فَأَحْيَيْناَهُ وَجَعَلْناَ لَهُ نُوْراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلَهُ فِي الظُلُماَتِ لَيْسَ بِخاَرِجٍ مِنْهاَ كَذَالِكَ زُيِّنَ لِلْكاَفِرِيْنَ ماَ كاَنُوا يَعْمَلُوْنَ

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” (QS. Al An’aam : 122)

Ini semua adalah tentang ilmu yang bermanfaat yang memotivasi seseorang untuk merasa takut (khasyah) dan takwa, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَءَامِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ

“Hai orang-orang yang beriman (kepada para Rasul), bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kami.Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hadiid : 28).

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

قَالُوا اتَّخَذَ اللهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ إِنْ عِندَكُم مِّن سُلْطَانٍ بِهَذَآ أَتَقُولُونَ عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُونَ

“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata:"Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus : 68).

Allah mensifati ilmu dan hujjah di dalam ayat ini dengan As Sulthaan (keterangan), maka Allah meminta kepada orang kafir dengan hujjah tentang apa yang telah mereka dakwakan (pengakuan mereka) “ Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini”, dan Allah Subhanahu wa ta’ala mengingkari pengakuan mereka yang tanpa ilmu, “Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.

Ayat yang serupa dengan ayat ini adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

قَالَ قَدْ وَقَعَ عَلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ رِجْسٌ وَغَضَبٌ أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَآءَ سَمَّيْتُمُوهَآ أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُم مَّانَزَّلَ اللهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُم مِّنَ الْمُنْتَظِرِينَ

“Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan nenekmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu” (QS. Al A’raaf : 71).

Juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

هَاؤُلآءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ ءَالِهَةً لَّوْلاَ يَأْتُونَ عَلَيْهِم بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا

“Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka) Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah” (QS. Al Kahfi : 15)

Juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَالَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَالَيْسَ لَهُم بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِن نَّصِيرٍ

“Dan mereka menyembah selain Allah, apa yang telah Allah tidak menurunkan keterangan tentang itu, dan apa yang mereka sendiri tiada mempunyai pengetahuan terhadapnya” (QS. Al Hajj : 71).

Dan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

أَلآ إِنَّهُم مِّنْ إِفْكِهِمْ لَيَقُولُونَ {} وَلَدَ اللهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ {} أَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِينَ {} مَالَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ {} أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ {} أَمْ لَكُمْ سُلْطَانٌ مُّبِينٌ {} فَأْتُوا بِكِتَابِكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan: "Allah beranak". Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta. Apakah Dia memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki ? Apakah yang terjadi padamu Bagaimana (caranya) kamu menetapkan? Maka apakah kamu tidak memikirkan? Atau apakah kamu mempunyai bukti yang nyata. Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang yang benar” (QS. Ash Shaafaat : 151-157)

Semua ayat ini menunjukkan bahwa As Sulthaan artinya adalah ilmu dan hujjah dan Allah mencela orang-orang musyrik di dalam kesyirikan mereka tanpa adanya hujjah dan Allah meminta hujjah kepada mereka tentang apa yang telah mereka akui.

Tambahan disebutkan kata-kata As Sulthan di dalam Al Qur-aan yang mengandung dua makna, salah satunya: yang artinya ilmu dan hujjah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala pada ayat-ayat diatas, kedua: yang bermakna kekuatan dan pemaksaan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَاجْعَلْ لِي مِن لَدُنْكَ سُلْطاَناً نَصِيْراً

“dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong” (QS. Al Israa’ : 80),

Juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلَناَ لِوَلِيِّهِ سُلْطاَناً

“Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya” (QS. Al Israa’ : 33)

Namun kebanyakan apa yang disebutkan di dalam Al Qur-aan artinya adalah yang pertama yaitu al hujjah, namun kedua makna itu bersumber dari satu makna, keduanya pecahan kata dari As Salaathah dan artinya adalah kemantapan yang berupa pemaksaan dan kadang-kadang pemaksaan itu dengan hujjah dan kadang-kadang dengan kekuatan materi. Lihat di dalam kitab Al Mufradaat, hal. 238 karangan Al Ashfaahani.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

"Maksudnya adalah bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan ilmul hujjah dengan Sulthaan karena menharuskan pemiliknya untuk menguasai ilmu itu dan kemampuannya di dalam menguasai orang-orang yang bodoh, bahkan kekuasaan ilmu itu lebih besar dari pada kekuasaan tangan, untuk itu manusia diselamatkan oleh hujjah yang tidak bisa diselamatkan oleh tangan, sesungguhnya hujjah dapat menyelamatkan hati sedangkan tangan hanya menyelamatkan badan saja, maka hujjah dapat menawan hati, mengikatnya dan menghinakan orang yang menyelisihinya, jika nampak pembangkangan dan kesombongan maka hatinya dapat tunduk dengan hujjah tersebut, tertekan dibawah kekuasaannya. Bahkan kekuasaan kehormatan jika dia tidak memiliki ilmu yang mengaturnya maka kedudukannya seperti kekuasaan binatang buas, singa dan yang semisalnya yang memiliki kekuatan tanpa ilmu, tanpa rahmat (kasih sayang), yang jelas berbeda dengan kekuasaan hujjah karena sesungguhnya dia memiliki kekuatan yang disertai dengan ilmu dan kasih sayang serta hikmah"
[Miftaahu Daarus Sa’aadah I/59]

Karena ilmu adalah kekuasaan maka orang yang memiliki ilmu (ulama’) mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan yang sebenarnya dan memiliki kepemimpinan yang hakiki bagi manusia, Abul Aswad Duwali berkata:

"Tidak ada sesuatu yang lebih mulia daripada ilmu, para raja itu penguasa bagi manusia sedangkan para ulama’ adalah penguasa bagi para raja"
[Ihyaa’ Uluumud Diin I/18]

Yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرُُ مِّنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)” (QS. An Nisaa’ : 83).

Ini adalah nash yang menyatakan bahwa ulama’ adalah “orang-orang yang diambil istimbath (kesimpulan)” dari para ulil amri yang seharusnya kasus-kasus mereka dikembalikan dan urusan-urusan mereka diserahkan kepada para ulama’. Untuk itu Ibnu Taimiyyah berkata bahwa para ulama dan umara’ adalah termasuk dari ulul amri yang disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An Nisaa’ : 59).

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

"Untuk itu ulil amri itu ada dua jenis: yaitu para Ulama’ dan Umara’, jika mereka itu baik maka manusia juga akan baik, dan jika mereka rusak maka manusia juga akan rusak"
[Maj’mu Al Fataawa XXVIII/170 sama seperti itu di dalam kitab Maj’mu Al Fataawa X/354-355 dan XI/551-552].

Kedua tafsir itu telah disebutkan oleh para sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah:

"Dan terdapat perselisihan tentang apa yang dimaksud dengan ulim amri di dalam ayat ini, dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu, beliau berkata: 
Mereka adalah para umara’ (pemimpin), dikeluarkan oleh Ath Thabari rahimahullah dengan sanad shahih, dan dikeluarkan dari Maimun Bin Mahran serta yang lainnya. Dan dari Jabir Bin Abdullah radliyallaahu 'anhu dia berkata: 'Mereka adalah Ahlul ilmi wal Khair (orang yang memiliki ilmu dan kebaikan), sedangkan dari Mujahid, Atha’, Al Hasan dan Abul Aliyah: Mereka adalah para Ulama’"
[Fathul Baari VIII/254]

Termasuk keutamaan ilmu adalah bahwa keutamaannya bukan hanya pada manusia tapi juga melampai batas sampai pada binatang (hewan-hewan), maka Allah tidak menyamakan antara anjing yang alim (pintar) dengan anjing yang bodoh sebagaimana juga tidak menyamakan antara orang yang alim dengan orang yang bodoh dari kalangan manusia, keterangan akan hal itu terdapat pada perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah:

"Sesungguhnya Allah menjadikan hasil buruan anjing yang bodoh adalah bangkai yang haram untuk dimakan namun dibolehkan hasil buruan anjing yang pintar (diajari), ini juga termasuk daripada kemuliaan ilmu bahwa tidak dibolehkan kecuali hasil buruan anjing yang pintar (diajari) sedangkan anjing yang bodoh maka tidak beloh memakan buruannya, maka ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan kemuliaannya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَسْئَلُونَكَ مَاذَآأُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِّمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Mereka menanyakan kepadamu:"Apakah yang dihalalkan bagi mereka". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang-binatang buas yang telah kamu ajarkan dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya” (QS. Al Maa'idah : 4).

Dan jika bukan karena kelebihan ilmu dan pengajaran serta kemuliaan keduanya maka hasil buruan anjing yang pintar (diajari) dengan anjing yang bodoh hukumnya adalah sama"
[Miftaahu Daarus Sa’aadah I/55]

Inilah beberapa dalil-dalil dari Kitabullah tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang memiliki ilmu, kemudian kita lanjutkan untuk menyebutkan dalil-dalil dari Sunnah.

(bersambung)

0 comments :

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. The Last Smile - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger