Keutamaan 1:
Rasulullah Shallallaahu ‘alahi
wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang berbuat suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak” [HR. Muslim dari Aisyah radliyallaahu ‘anha]
Dan diriwayatkan dari Al Bukhaari secara Mu’allaq di dalam Kitab Al I’tishaam dari Shahihnya beliau berkata:
“Bab
Jika seorang petugas atau seorang hakim berijtihad lalu berbuat salah yang
menyelisihi Rasul tanpa di dasari ilmu maka hukumnya adalah tertolak, karena
sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam ‘Barang siapa yang berbuat
suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak’ " [HR. Al Bukhaari secara bersambung sanadnya dengan lafaz yang lain]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“Hadits ini termasuk dari
dasar-dasar Islam dan termasuk salah satu dari kaedah-kaedahnya”
[Fathul Baari V/302]
Hadits ini menduduki kedudukan itu disebabkan beberapa hal karena:
a. Menunjukkan mantuqnya
(makna secara eksplisit) akan kebatilan setiap amal yang menyelisihi dalil
syar’I, termasuk dalam masalah ibadah dan muamalah (hubungan sosial) yang
berupa akad-akad (kesepakatan-kesepakatan) dan yang lainnya, hukum-hukum para
hakim dan yang lainnya, setiap yang menyelisihi syariah dari semua ini adalah
tertolak dan bathil, orang yang melakukannya tidak mendapatkan pahala jika
bentuknya ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak akan
mengakibatkan suatu apapun jika bentuknya adalah muamalah, akad (kesepakatan)
dan keputusan hakim.
b. Menunjukkan mafhumnya
(makna secara implisit) akan kewajiban ilmu sebelum beramal, sesungguhnya amal
tidak akan diterima dan tidak sah kecuali dengan mengikuti syari’at, maka wajib
untuk mengetahui hukum syari’at pada setiap amalan sebelum melakukannya, ini
menunjukkan akan keutamaan ilmu dan bahwa ilmu adalah merupakan syarat untuk
sahnya suatu amal, dan bahwa berilmu itu wajib sebelum beramal.
Sebagaimana telah diketahui bahwa dua syarat diterimanya amal adalah:
1) Ikhlash : yaitu seorang hamba hendaknya tidak memaksudkan amalnya kecuali untuk mencari keridhaan Allah.
2) Mengikuti
syari’at : yaitu hendaknya amalnya sesuai dengan apa yang telah disebutkan
oleh syari’at, ini semua menuntut untuk wajibnya berilmu sebelum beramal supaya
mudah melakukan amal yang sesuai dengan syari’at.
Dan Allah telah mengumpulkan kedua syarat ini di dalam QS. Al Kahfi
ayat 110.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya masing-masing kita
diperintahkan untuk membenarkan apa yang dibawa oleh Rasul, dan mentaati setiap
apa yang dia perintahkan, namun hal itu tidak akan terjadi kecuali setelah
memahami perintah dan khabarnya, dan Allah tidak mewajibkan hal itu kepada
umatnya kecuali di dalamnya terdapat hal yang dapat menjaga agama dan dunianya
serta terdapat kemaslahatan untuk kehidupan dunia dan akhiratnya dan dengan
meremehkan (menghilangkannya) akan menghilangkan kemaslahatannya dan merusak
perkaranya, maka tidak ada kehancuran bagi seorang alim kecuali kebodohan, dan
tidaklah kesuksesannya kecuali dengan ilmu. Jika nampak ilmu di suatu negeri
atau di suatu tempat maka akan sedikit kejelekan (kejahatan)nya dan jika ilmu
itu tersembunyi maka di sana akan muncul kejahatan dan kerusakan, dan barang
siapa yang tidak mengetahui akan hal ini maka dia bukan orang yang dijadikan
oleh Allah untuk mendapatkan cahaya. Imam Ahmad berkata:
‘Jikalau bukan karena ilmu maka
manusia seperti binatang, dan manusia berkata: Manusia membutuhkan ilmu itu
melebihi kebutuhannya kepada makanan dan minuman, karena makanan dan minuman
itu dibutuhkan olehnya hanya dua kali atau tiga kali dalam sehari sedangkan
ilmu dibutuhkan olehnya setiap waktu’ “
[I’laamul
Muwaaqi’iin II/237-238]
Keutamaan 2:
Rasulullah shallallaahu ‘alahi
wasallam bersabda:
مَن يُرِدِاللهُ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي
الدِّيْنِ وَإِنَّماَ أَناَ قاَسِمٌ وَ اللهُ يُعْطِيُ, وَلَن تَزاَلُ هَذِهِ
الأُمَّةِ عَلَى أَمْرِاللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَن خاَلَفَهُمْ حَتَّى يَاْتِيَ
أَمْرُاللهِ
“Barang siapa yang
dikehendaki oleh Allah kebaikan maka akan dipahamkan tentang agama dan
sesungguhnya saya hanya Qasim (yang mendapat bagian) dan Allah yang memberi,
umat ini akan selalu ada tegak diatas perintah Allah yang tidak akan
membahayakan orang-orang yang menyelisihinya hingga datang urusan Allah”
[HR. Al Bukhaari
dari Mu’aawiyah radliyallaahu ‘anhu]
Dan diriwayatkan oleh Muslim secara marfu’ dengan lafadznya:
مَن يُرِدِاللهُ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي
الدِّيْنِ وَلاَ تَزاَلُ عِصاَبَةٌ مِن المُسْلِمِينَ يُقاَتِلُونَ عَلَى الحَقِّ
ظاَهِرِيْنَ عَلَى مَن ناَوَأَهُم إِلَى يَوْمِ القِياَمَةِ
“Barang siapa yang
dikehendaki oleh Allah dengan kebaikan maka akan dipahamkan dengan agama dan
akan selalu ada suatu kelompok dari kaum muslimin yang selalu berperang di atas
kebenaran yang menampakkan (menang) terhadap orang-orang yang memusuhinya hingga
Hari Kiamat”.
Faedah dari hadits ini adalah:
a) Hadits ini
menunjukkan akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu: dan bahwa
pemahaman seorang hamba akan agamanya termasuk tanda-tanda keinginan Allah akan
kebaikan baginya, artinya dengan memahami agamanya akan menjadikan baik amalnya
sebagaimana yang telah lalu kami sebutkan tentang kewajiban mengikuti syari’at
untuk keabsahan suatu amal, dan dengan memahami agamanya akan membimbing yang
lainnya kepada kebenaran dan kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti
pahala orang yang dibimbingnya, ini semua menerangkan besarnya keutamaan ilmu
dan besarnya pahala orang-orang yang berilmu yang mengamalkan ilmunya.
b) Hadits ini
juga menunjukkan makna secara implisit bahwa orang yang tidak memahami agamanya
maka dia telah terhalang dari kebaikan, Ibnu Hajar rahimahullah
berkata:
“Dan telah dikeluarkan oleh Abu
Ya’la hadits Mu’awiyah radliyallaahu ‘anhu dari jalan lain namun dhaif
(lemah) sanadnya dan ditambah diakhirnya ‘Dan barang siapa yang tidak paham
dengan agamannya maka dia tidak dihiraukan oleh Allah’ namun secara makna
benar, karena sesungguhnya orang yang tidak mengerti tentang perkara agamanya
maka dia tidak akan menjadi seorang yang faqih dan bukan orang yang mencari
fiqh (pemahaman), maka benarlah bahwa dia tidak menginginkan kebaikan, di dalam
hadits itu juga menerangkan secara jelas akan keutamaan para ulama’ terhadap
seluruh manusia, dan keutamaan bertafaquh tentang agamanya dari seluruh
ilmu-ilmu yang ada”
[Fathul Baari I/165]
Berkata Abu Darda’ radliyallaahu
‘anhu:
“Allah memberi ilmu kepada orang-orang yang bahagia dan mengharamkannya bagi orang-orang yang celaka”
“Allah memberi ilmu kepada orang-orang yang bahagia dan mengharamkannya bagi orang-orang yang celaka”
[Diriwayatkan oleh
Ibnu Abdil Barr dalam Jaami’u Bayaanil Ilmi I/57]
c) Bahwa ilmu
tidak di dapatkan hanya dengan usaha saja (menuntut ilmu dan belajar) akan
tetapi juga bagi orang yang dibukakan pintu oleh Allah untuk itu, dalil akan
hal itu adalah:
Sabda Rasul Shallallaahu ‘alahi
wasallam:
مَن يُرِدِاللهُ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي
الدِّيْنِ
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah dengan kebaikan maka akan dipahamkan” dan beliau tidak bersabda “Maka dia belajar” sehingga menyandarkan pemahaman kepada Allah bukan kepada usaha seorang hamba, walaupun usaha seorang hamba (dengan belajar) adalah sebab untuk menjadi seorang yang faqih.
Di dalam riwayat Al Bukhaari
وَإِنَّماَ أَناَ قاَسِمٌ
“Dan sesungguhnya
aku hanya yang membagikan”
Artinya adalam (membagikan) ilmu yang disampaikan kepadanya. ‘Dan Allah yang
memberi’ artinya memberi rizki pemahaman kepada orang yang Dia kehendaki,
dan bukanlah setiap orang yang disampaikan bagian dari ilmu Nabi itu menjadi
seorang Faqih.
Termasuk yang menguatkan hal ini adalah firman Allah:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ وَمَن يُؤْتَ
الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Allah memberikan
hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh
telah diberi kebajikan yang banyak” (QS. Al Baqarah: 269)
Allah telah menetapkan bahwa hikmah itu adalah pemberian dan karunia dari Allah
Subhanahu wa ta’ala. Diriwayatkan dari Ibnu Abdil Barr dari Imam
Malik rahimahullah bahwa beliau berkata:
“Hikmah adalah pemahaman tentang
agama Allah”
[Jaami’u Bayaanil
Ilmi I/17]
“Hikmah dan ilmu adalah cahaya
yang Allah memberi petunjuk dengannya kepada orang-orang yang dia kehendaki dan
bukannya banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang dia jawab....
Sesungguhnya ilmu itu bukan
banyaknya meriwayatkan akan tetapi hikmah itu adalah cahaya yang Allah letakkan
di dalam hati”
[Jaami’u Bayaanil
Ilmi II/25]
d) Hadits itu
juga menunjukkan bahwa seseorang tidak dikatakan seorang yang faqih kecuali dia
mengamalkan apa-apa yang dia ketahui, inilah yang paling berhak untuk dikatakan
‘Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah akan kebaikan baginya’,
sedangkan orang yang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya maka dia akan
menghadapi celaan dan ancaman sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ
وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَـابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ
تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ {} كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا
مَالاَتَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS. Ash Shaf : 2-3).
Dan tidak akan berkumpul kebencian Allah dan keinginan yang baik, maka diketahui bahwa tafaquh (memahami) tentang agama adalah ilmu dan amal semuanya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Barang siapa yang tafaquh
(memahami) agamanya dan dia dikehendaki dengan kebaikan jika dia menginginkan
di dalam memahami ilmu itu harus diamalkan, sedangkan jika hanya diinginkan
hanya untuk berilmu saja maka tidak menunjukkan bahwa dia adalah orang yang
bertafaquh tentang agamanya yang dikehendaki untuk mendapatkan kebaikan”
[Miftaahu Daarus
Sa’aadah I/60]
e) Hadits itu
juga menunjukkan bahwa para fuqaha’ yang mengemban ilmu dan mengamalkannya akan
selalu ada pada umat ini sehingga datang urusan Allah, karena sabda Rasulullah
Shallallaahu ‘alahi wasallam – di dalam riwayat Al Bukhaari –
‘Akan selalu ada pada umat ini yang menegakkan perintah Allah’ (hadits).
Dan menegakkan perintah Allah tidak akan terjadi kecuali dengan memegang teguh
kebenaran dan tetap adanya hujjah Allah Subhanahu wa ta’ala, ini mengharuskan
tetap adanya para ulama yang mengamalkan ilmunya dan yang shalih, dari sinilah Ali
Bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu berkata:
“Bumi ini tidak akan kosong dari
orang yang menegakkan hujjah untuk Allah Subhanahu wa ta’ala”
[I’laamul
Muwaaqi’iin IV/150 dan Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/50]
Beberapa para ulama’ menggunakan dalil hadits ini bahwa setiap zaman itu tidak
pernah kosong dari seorang mujtahid, dan bahwa ijtihad di dalam agama tidak
akan terputus hingga datang urusan Allah. [Fat-hul Baari I/164]. “Dan
urusan Allah” yang disebutkan di dalam riwayat Al Bukhaari adalah
tiupan angin yang dapat mencabut ruh setiap orang yang di dalam hatinya ada
sedikit iman dan menetapnya manusia yang paling jelek akhlaknya, dengan adanya
merekalah terjadi Hari Kiamat.
Riwayat-riwayat di atas tentang hadits Ath Thaifah Al Manshurah menunjukkan
bahwa menampakkan kebenaran dan istiqamah (lurus)nya umat ini adalah tergantung
pada dua kelompok dari kaum mukminin, yaitu:
Ahlul ilmi (orang-orang yang berilmu) sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan
Ahlul jihad
(orang-orang yang berjihad) karena sabda
Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam --- di dalam riwayat Muslim --- :
وَلاَ تَزاَلُ عِصاَبَةٌ مِن المُسْلِمِينَ
يُقاَتِلُونَ عَلَى الحَقِّ ظاَهِرِيْنَ عَلَى مَن ناَوَأَهُم إِلَى يَوْمِ
القِياَمَةِ
“Akan selalu ada suatu kelompok dari kaum muslimin yang berperang di atas kebenaran yang menang terhadap orang-orang yang memusuhi mereka hingga hari kiamat”.
Dua kelompok inilah: Para ulama’ dan para mujahidin mereka itu adalah Ahlul kitab dan Ahlul hadid (orang-orang yang memegang buku dan orang-orang yang memegang besi) yang telah disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ
وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
وَأَنزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعَ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ
اللهُ مَن يَنصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)-Nya dan Rasul-Rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.Sesungguhnya
Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS. Al Hadiid: 25)
Inilah yang telah disebutkan
oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah tentang dua kelompok ini.
[Majmu’ Al Fataawa :
X/354]
Al Khatiib Al Baghdaadi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ishaq Bin Abdullah beliau berkata:
“Orang yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah Ahlul ilmi dan Ahlul jihad, lalu dia berkata: ‘Untuk ahlul ilmi karena mereka telah menunjukkan manusia dengan apa yang dibawa oleh para Rasul, sedangkan Ahlul jihad mereka telah berjihad diatas apa yang dibawa oleh Rasul”
[Al Faqiih Wal
Mutafaqqih I/35]
Keutamaan 3:
Termasuk keutamaan ilmu adalah
bahwa penuntutnya menduduki kedudukan orang yang berjihad di jalan Allah,
karena sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam:
مَن جاَءَ مَسْجِدِي هَذاَ لَمْ يَأْتِيْهِ
إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمَهُ أَو يُعَلِّمُهُ فَهُوَ مَنْزِلَةُ المُجاَهِدْ فِي
سَبِيْلِ اللهِ وَمَن جاَءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ مَنْزِلَةُ الرَّجُلِ يَنْظُرُ
إِلَى مَتاَعِ غَيْرِهِ
“Barang siapa yang datang ke masjidku ini, dan dia tidak datang kecuali untuk kebaikan yang dia pelajari atau dia ajarkan maka dia sama dengan kedudukannya orang yang berjihad di jalan Allah, dan barang siapa yang datang tidak untuk tujuan ini maka kedudukannya seperti kedudukan seseorang yang melihat kenikmatan pada orang lain”
[HR. Ibnu Majah dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dengan sanad hasan dan di shahihkan oleh Ibnu
Hibban]
Dan Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dari Abu Darda’ radliyallaahu ‘anhu beliau berkata:
“Barang siapa yang melihat kepada ilmu pada waktu pagi dan sore tidak digunakan untuk jihad maka dia telah berkurang akal dan pendapatnya”
Dan diriwayatkan darinya juga beliau berkata:
“Tidaklah seseorang yang berpagi hari di masjid untuk kebaikan yang dia pelajari atau yang dia ajarkan kecuali ditulis baginya pahala seorang mujahid yang tidak kembali kecuali dia membawa ghanimah (harta rampasan)”
[Jaami’u Bayaanil
Ilmi I/31-32]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata
“Yang kelima puluh – tentang
keutamaan ilmu – apa yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari
hadits Abu Ja’far Ar Raazi dari Rabi’ Bin Anas beliau berkata:
Berkata Rasulullah Shallallaahu
‘alahi wasallam:
مَن خَرَجَ فِي طَلَبِ العِلْمِ فَهُوَ فِي
سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Barang siapa yang keluar mencari ilmu maka dia berada di jalan Allah hingga dia kembali”
Imam At Tirmidzi berkata:
“Ini hadits hasan ghariib yang diriwayatkan oleh sebagian mereka namun tidak mereka angkat derajat haditsnya. Sesungguhnya menuntut ilmu dijadikan sebagai bagian dijalan Allah adalah karena dengan ilmu itulah islam akan tegak sebagaimana tegaknya islam itu dengan jihad, jadi tegaknya agama itu dengan ilmu dan jihad, untuk itu jihad itu ada dua macam:
Jihad dengan tangan dan tombak
dan yang mengikuti ini sangat banyak,
yang kedua adalah jihad dengan
hujjah dan bayan (keterangan),
ini adalah jihad yang khusus
dari para pengikut para Rasul yaitu jihadnya para imam dan inilah dua jihad
yang paling afdhal (utama) disebabkan manfaatnya yang sangat besar,
pertolongannya yang sangat dan banyak musuhnya. Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman di dalam surat Al Furqaan yang merupakan Ayat Makkiyah:
وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ
قَرْيَةٍ نَّذِيرًا فَلاَ تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا
كَبِيرًا
“Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (Rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur'an dengan jihad yang besar” (QS. Al Furqaan : 51-52)
Dengan ini jihad kepada mereka dengan Al Qur’an dan itulah jihad yang paling besar, ini juga jihad terhadap orang-orang munafik karena sesungguhnya kaum munafik tidak memerangi kaum muslimin akan tetapi mereka bersama kaum muslimin secara dhahir, dan kadang-kadang mereka memerangi musuh kaum muslimin bersama mereka, bersamaan dengan ini Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ
وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Wahai Nabi
perangilah orang-orang kafir dan munafik dan bersikaplah keras terhadap mereka”
… dan sudah diketahui bahwa berjihad melawah orang-orang munafik adalah dengan hujjah (dalil-dalil) dan Al Qur’an. Dan yang dimaksud bahwa di jalan Allah itu adalah jihad, menuntut ilmu dan berdakwah terhadap makhluk kepada Allah”
[Miftaahu Daarus
Sa’aadah I/70]
Keutamaan 4:
Termasuk yang menunjukkan akan
keutamaan ilmu adalah sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam:
مَن سَلَكَ طَرِيقاً يَطْلُبُ فِيهِ عِلْماً
سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقاً مِن طُرُقِ الجَنَّةِ وَ إِنَّ المَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ
أَجْنِحَتَهاَ رِضاً لِطاَلِبِ العِلْمِ وَإِنَّ العاَلِمَ لَيُسْتَغْفَرُ مَت فِي
السَّماَواَتِ وَمَن فِي الأَرْضِ وَالحِيتاَنِ فِي جَوْفِ الماَءِ وَإِنَّ فَضْل
العاَلِمِ عَلَى العاَبِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةِ البَدْرِ عَلَى ساَئِرِ
الكَواَكِبِ وَإِنَّ العُلَماَءُ وَرَثَةُ الأَنبِياَءِ وَإِنَّ الأَنبِياَءَ لَم
يُورِثُوا دِيْناَراً وَلاَدِرْهاَماً إِنَّماَ وَرَّثُوا العِلْمَ فَمَن أَخَذَهُ
أَخَذَ بِحَظٍ واَفِرٍ
“Barang siapa yang
menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan bukakan kepadanya
sebuah jalan dari jalan-jalan surga, dan sesungguhnya para malaikat meletakkan
sayap mereka dengan ridha kepada orang yang menuntut ilmu, dan sesungguhnya
seorang alim pasti akan dimintakan ampunan oleh seluruh makhluk yang berada di
langit maupun dibumi sampai ikan yang berada di tengah lautan, dan sesungguhnya
keutamaan seorang yang alim terhadap seorang yang abid seperti keutamaan bulan
pada malam purnama terhadap seluruh bintang-bintang, dan sesungguhnya para
ulama’ itu pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar
dan dirham akan tetapi mereka mewarisi ilmu, maka barang siapa yang
mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang besar”
[HR. Abu Dawud ---
dan lafadz miliknya --- dan At Tirmidzi serta Ibnu Maajah dari Abu Darda’
radliyallaahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbaan]
Dan diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara Marfu’:
وَمَن سَلَكَ طَرِيقاً يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْماً سَهَلَ اللهُ لَهُ طَرِيقاً إِلَى الجَنَّةِ
“Dan barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah mudahkan jalannya menuju Jannah (Surga)”
Hadits ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu lebih dari satu keutamaan, di antaranya:
a. Bahwa ilmu
itu adalah warisan para Nabi.
b. Bahwa para
ulama’ adalah pewaris para Nabi di dalam menyampaikan ilmu dan hukum
ditengah-tengah manusia, bukan pada permasalahan membuat hukum.
c. Bahwa
seorang alim akan dimintakan ampun oleh orang yang berada di langit dan bumi.
d. Bahwa
sesungguhnya menuntut ilmu adalah termasuk salah satu jalan yang menghantarkan
kepada Surga.
Keutamaan apa lagi yang lebih tinggi dari pada ini?
Keutamaan apa lagi yang lebih tinggi dari pada ini?
Keutamaan 5:
Ilmu adalah kepemimpinan yang
sesungguhnya, karena kepada orang yang berilmulah tempat kembali dan mengadu
ketika terjadi perselisihan, dan telah kami sebutkan dalil-dalilnya dari Kitab
Allah, di antaranya firman Allah:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul” (QS. An Nisaa’ : 59)
Jadi mengembalikan kepada Allah dan Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam adalah mengembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah, dan mengembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah adalah mengembalikan kepada para ulama’ yang mengamalkan keduanya, yang menunjukkan itu adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى
أُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri)” (QS. An Nisaa’ : 83)
Karena para ulama’ dan para penguasa sebenarnya dengan perkataan mereka yang
mengatakan ini boleh dan ini tidak boleh, ini benar dan ini salah. Asy
Syaathibi rahimahullah berkata:
“Oleh karena itu para ulama’
menjadi penguasa bagi seluruh manusia baik keputusan atau fatwa atau bimbingan
karena mereka disifati dengan ilmu syar’iy yang merupakan seorang hakim secara
mutlak”
[Al I’tishaam II/341
karangan Imam Asy Syathibi]
Dalil akan hal ini dari sunnah adalah sabda Nabi Shallallaahu ‘alahi wasallam:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ
انْتِزاَعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِباَدِ وَلَكِن يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ
العُلَماَءِ حَتَّى إِذاَ لَم يَبْقَ عاَلِماً اتَّخَذَ رُءُوساً جُهاَّلاً
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah
tidak mencabut ilmu dengan mencabut ilmu tersebut dari para hamba, akan tetapi
mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama’, hingga jika tidak ada lagi
seorang alim maka manusia mengambil pemimpin-pemimpin yang bodoh, sehingga
mereka ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu maka dia sesat dan menyesatkan” [HR. Muttafaqun ‘alaih]
Hadits itu dengan bimbingannya menunjukkan akan wajibnya mengutamakan para
ulama’ di dalam kepemimpinan dan peringatan dari mengambil pemimpin yang bodoh.
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya dari Nafi’ Bin
Abdullah Al Khuza’I --- beliau adalah pegawai Umar radliyallaahu
‘anhu di Makkah --- bahwa dia menemuinya di Usfaan. Maka dia
berkata kepadanya:
“Siapakah yang menggantikanmu?”
Lalu dia menjawab:
“Yang menggantikan aku adalah Ibnu
Abza salah seorang maula kami.”
Umar bertanya kepadanya:
“Yang menggantikanmu seorang
maula?”
Dia menjawab:
“Sesungguhnya dia adalah Qaari
(pembaca) kitab Allah, seorang alim tentang faraidh,”
Maka Umar berkata:
“Sesungguhnya Nabi kalian telah
bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذاَ الكِتاَبِ
أقْواَماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرُونَ
“Sesungguhnya dengan Kitab ini Allah akan mengangkat derajat suatu kaum dan menghinakan kaum yang lain”.
Maka ilmu Ibnu Abza mengakibatkan dia dijadikan sebagai pemimpin dan didahulukan dari pada yang lainnya.
Begitu juga Kitab Allah telah menunjukkan untuk menjaga (memperhatikan) syarat ilmu bagi orang yang diangkat menjadi pemimpin bagi manusia, hal itu terdapat pada firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ
عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ
الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسطَةً فِي
الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
“Mereka menjawab:
"Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan
pemerintahan daripadanya sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup
banyak" Nabi (mereka) berkata:"Sesungguhnya Allah telah memilihnya
menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa” (QS. Al Baqarah : 247)
Keutamaan 6:
Para ulama adalah orang-orang
yang dipercaya terhadap agama ini: Mereka mengajari orang bodoh, membantah
orang yang berlebih-lebihan, menyingkap penyelewengan orang-orang yang
menyeleweng dan orang-orang bid’ah, sebagaimana terdapat di dalam hadits:
يَحْمِلُ هَذاَ العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفِ
عُدُوْلِهِ, يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغاَلِيْنَ وَانْتِحاَلِ المُبْطِلِينَ
وَتأْوِيْلِ الجاَهِلِينَ
“Sesungguhnya yang mengemban ilmu ini adalah orang-orang yang adil, dengannya mereka menghilangkan penyelewengan-penyelewengan orang-orang yang ekstrimis, pendapat orang-orang yang menyeleweng dan takwilnya orang-orang yang bodoh”
[HR. Ibnu
Adi dari Ali dan Ibnu Umar, juga diriwayatkan oleh Al Khathiib dari
Muadz, juga oleh Ath Thabari dari Usamah Bin Zaid, juga
diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ibnu Mas’uud, Imam Ahmad Bin Hambal berkata: Hadits ini shahih sebagaimana yang
disebutkan Al Khallal di dalam kitab Al Ilal, semua ini disebutkan oleh Ibnul
Qayyim di dalam kitab Miftaahu Daarus Sa’aadah I/163, dan Al
Khathiib Al Baghdaadi menukil penshahihannya dari Ahmad di dalam kitabnya Syarfu
Ash-haabul Hadiits hal. 29]
Hadits ini digunakan oleh Imam Ahmad di dalam muqaddimah
kitabnya Ar Rad Ala Az Zanaadiqah Wal Jahmiyyah lalu beliau
berkata:
“AlHamdulillah (segala puji bagi Allah) yang menjadikan pada setiap zaman kosong dari diutusnya Rasul dan tinggal hanya orang-orang yang berilmu yang mengajak dari kesesatan kepada petunjuk, mereka bersabar dengan siksaan dalam hal itu, menghidupkan kitab Allah yang telah mati, memberi sinar dengan cahaya Allah kepada orang-orang yang bodoh, berapa banyak orang-orang yang dibunuh oleh iblis telah dia hidupkan, dan berapa banyak orang yang sesat dalam kebingungan yang telah dia beri petunjuk, sungguh sangat baik pengaruh mereka terhadap manusia namun menusia membuat pengaruh yang jelek terhadap mereka.
Mereka menghilangkan penyelewengan-penyelewengan orang-orang yang ekstrimis, pendapat orang-orang yang menyeleweng dan takwilnya orang-orang yang bodoh. Yang mereka telah mengingkat bendera-bendera bid’ah, melepaskan tali-tali fitnah, mereka adalah orang-orang yang berselisih di dalam Al Kitab, Menyelisihi Al Kitab, berkumpul untuk memisahkan Al Kitab, mereka berkata dengan nama Allah, tentang Allah dan di dalam kitab Allah tanpa ilmu, mereka selalu membicarakan tentang perkataan-perkataan yang mutasyabih, dan menipu orang-orang yang bodoh dengan yang mutasyabih pada mereka. maka Naudzibillahi dari fitnah orang-orang yang sesat”
[lihat dalam kitab
(Maj’muu’atu Aqaa-idis Salaf, hal. 52) cetakan Daarul Ma’rifah di Iskandariyah
tahun 1971 M, dan dalam kitab (Minhaajus Sunnah V/273) oleh Ibnu taimiyyah,
ditahqiq oleh DR. Muhammad Rasyad Salim, juga di dalam kitab (Al I’laamul
Muwaaqi’iin I/9) oleh Ibnul Qayyim]
Keutamaan 7:
Bahwa sesungguhnya orang yang
berilmu pahalanya akan terus mengalir hingga setelah kematiannya dari ilmu yang
telah dia sebarkan, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang
mengambil manfaat dengan ilmunya selama hidupnya dan setelah kematiannya, yang
menunjukkan akan hal ini adalah:
a. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ
مَاقَّدُموا وَءَاثَارَهُمْ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Yaasin : 12)
Makna dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala “Sesungguhnya Kami menghidupkan
orang-orang mati” artinya adalah hari kiamat, dan makna “dan Kami
menuliskan apa yang telah mereka kerjakan” artinya adalah apa yag telah
mereka kerjakan di dalam kehidupan mereka di dunia yang berupa amalan-amalan,
dan makna “dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan” artinya bekas-bekas
yang mereka tinggalkan setelah kematian mereka, jika itu baik maka baik pula,
dan jika itu jelek maka akan jelek pula, seperti shadaqah jariyah dan ilmu yang
bermanfaat yang pahalanya mengalir untuk orang yang memiliki ilmu tersebut,
juga seperti kebid’ahan, kesesatan, yang dosanya akan mengalir kepada orang
yang melakukannya dan setelah kematiannya sebagaimana yang ditunjukkan oleh
hadits-hadits yang sebagian akan kami jelaskan.
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan pendapat kedua tentang “Dan bekas-bekas mereka” bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah bekas-bekas langkah mereka apakah kepada ketaatan atau kepada kemaksiatan. Perkataan ini walaupun mengandung makna bahasa namun perkataan yang pertama adalah yang rajih (kuat) insyaa’Allah, karena adanya firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “Bekas-bekas mereka” yang menjawab dari “apa yang telah mereka kerjakan” ini adalah apa yang mereka kerjakan bagi diri mereka sendiri di dalam kehidupan mereka, dan disana ada hal-hal yang telah mereka tinggalkan bekas-bekasnya setelah kematian mereka.
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan pendapat kedua tentang “Dan bekas-bekas mereka” bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah bekas-bekas langkah mereka apakah kepada ketaatan atau kepada kemaksiatan. Perkataan ini walaupun mengandung makna bahasa namun perkataan yang pertama adalah yang rajih (kuat) insyaa’Allah, karena adanya firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “Bekas-bekas mereka” yang menjawab dari “apa yang telah mereka kerjakan” ini adalah apa yang mereka kerjakan bagi diri mereka sendiri di dalam kehidupan mereka, dan disana ada hal-hal yang telah mereka tinggalkan bekas-bekasnya setelah kematian mereka.
b. Sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam:
مَن دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فاَعِلِهِ دَعاَ
“Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya” [HR. Muslim dari Abu Mas’ud Al Badri radliyallaahu ‘anhu]
c. Sabda
Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam:
مَن دَعاَ إِلَى هُدَى كاَنَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَن تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِن أُجُورِهِم شَيئاً وَمَن دَعاَ إِلَى ضَلاَلَةٍ كاَنَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثاَمِ مَن تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِن آثاَمِهِم شَيئاً
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka dia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu]
d. Sabda
Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam:
إِذاَ ماَتَ ابْنُ آدَمَ انقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِن ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جاَرِيَةٌ أَو عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَو وَلَدٌ صاَلِحٌ يَدْعُو لَهُ
“Jika anak adam
meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah atau ilmu
yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu]
Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara marfu darinya:
“Sesungguhnya termasuk hal yang
mengikuti seorang mukmin dari amal dan kebaikannya setelah kematiannya adalah
ilmu yang dia pelajari dan disebarkannya, anak shalih yang dia tinggalkan,
mus-haf yang dia wariskan, atau masjid yang dia bangun, atau rumah bagi para
musafir yang dia bangun, atau sungai yang dia buat, atau shadaqah yang dia
keluarkan dari hartanya ketika sehatnya dan hidupnya, maka semua itu akan
menemuinya setelah kematiannya”.
Maka lihatlah kepada besarnya pahala ini, sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alahi
wasallam menerima pahala seperti pahala orang yang berbuat baik dari umatnya,
begitu juga para shahabat menerima pahalanya, karena merekalah yang membawa
ilmu ini kepada kita dari Nabi Shallallaahu ‘alahi wasallam dan mereka telah
menyampaikan kepada kita disetiap generasi, kemudian para ulama yang pandai
setelah mereka hingga hari kiamat, setiap mereka akan mendapatkan pahala orang
yang mengambil manfaat dari ilmu mereka dan buku-buku mereka, maka setiap orang
yang membaca shahih Al Bukhaari dan mengambil manfaat darinya
– contohnya – maka Al Bukhaari akan mendapatkan pahala seperti
pahala orang yang membacanya, dan orang-orang yang menjadi sanad Al
Bukhaari mendapatkan seperti pahala ini hingga sanad ini naik sampai
pada Nabi Shallallaahu ‘alahi wasallam.
Maka bandingkanlah hal ini.
Termasuk dalam hal ini juga adalah mewaqafkan buku-buku ilmu yang bermanfaat seperti Al Qur’an, kitab-kitab tafsiir, hadits dan fiqh, jika kamu membeli satu mush-haf dan kamu waqafkan di masjid, maka kamu akan mendapatkan pahala seperti pahala setiap orang yang membaca mush-haf itu, dalil akan hal itu adalah hadits yang telah disebutkan “Atau ilmu yang bermanfaat”, karena Al Qur’an adalah pokok ilmu-ilmu syar’iy dan dasarnya, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَاجَآءَكَ
مِنَ الْعِلْمِ
“Siapa yang membantahmu tentang kisah 'Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)” (QS. Ali Imraan : 61)
Namun bentuk ini bukan termasuk dalam permasalahan “Apakah Mayyit akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca Al Qur’an dan menghadiahkan pahala untuknya ?”, akan tetapi itu adalah masalah lain dan dalilnya telah kami sebutkan.
Sedangkan permasalahan “apakah mayyit akan mendapatkan pahala dari bacaan orang yang masih hidup?” Maka di dalamnya terdapat perselisihan, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memilih pendapat bahwa dia akan mendapatkan pahalanya, lihat Majmu’ Al Fataawa XXIV/300, 321-324 dan 366 serta XXXI/41. Dan itu juga pilihan Ibnul Qayyim rahimahullah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Sedangkan bacaan Al Qur’an dan menghadiahkan untuknya --- artinya si mayyit --- yang sesuai dengan sunnah tanpa minta imbalan maka ini akan sampai kepadanya sebagaimana sampai pahala puasa dan haji”
[Ar Ruuh,
hal.191-192) karangan Ibnul Qayyim, cet. Maktabah Al Madani]
Keutamaan 8:
Termasuk keutamaan ilmu adalah
dia sebagai penjaga – dengan izin Allah dari fitnah dan kejelekan, maka setiap
berkurang ilmu akan bertambah fitnah. Dari sinilah Al Bukhaari menyebutkan
di dalam Kitab Al Ilmu dari Shahihnya “Raf’ul Ilmi wa
Dhuhuuril Jahl” (Terangkatnya ilmu dan munculnya kebodohan) di
dalamnya terdapat hadits yang diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّ مِن أَشْراَطِ السَّاعَةِ أَن يُرْفَعَ
العِلْمُ وَيَثْبُتُ الجَهْلُ وَيُشْرَبُ الخَمْرُ وَ يَظْهَرُ الزِناَ
“Sesungguhnya termasuk dari tanda-tanda hari kiamat adalah diangakatnya ilmu, tetapnya (semakin kuatnya) kebodohan, khamer diminum, dan munculnya perzinahan”
Diriwayatkan darinya juga bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّ مِن أَشْراَطِ السَّاعَةِ أَن يَقِلَّ العِلْمَ وَيَظْهَرُ الجَهْلُ وَ يَظْهَرُ الزِناَ وَتَكْثُرُ النِّساَءَ وَيَقِلَّ الرِّجاَلَ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً القَيِّمُ الواَحِدُ
“Sesungguhnya termasuk dari tanda hari kiamat adalah ilmu semakin sedikit, semakin nampak kebodohan, semakin nampak perzinahan, para wanita semakin banyak, dan para lelaki semakin sedikit sampai-sampai untuk lima puluh wanita dan laki-laki hanya satu” [HR. Al Bukhaari]
Pada bab yang sama juga dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dari Nabi
Shallallaahu ‘alahi wasallam beliau bersabda:
يُقْبَضُ العِلْمُ وَ يَظْهَرُ الجَهْلُ
وَالفِتَنُ وَ يَكْثُرُ الهَرَجُ
“Ilmu dicabut, dan
nampak kebodohan dan fitnah, serta banyak terjadi Al Haraj,”
… dikatakan:
“Ya Rasulullah! Apa itu Al
Haraj?”
Beliau menjawab begini dengan
tangannya lalu menggerakkannya, seakan-akan yang beliau maksud adalah
pembunuhan.”
Al Bukhaari juga telah menyebutkan hadits secara keseluruhan
tentang hadits-hadits kurangnya ilmu di dalam kitab Al Fitan dari
Shahihnya hadits no. 7062-7066 dan no. 712.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“Dan seakan-akan lima perkara
ini khusus untuk disebutkan karena keberadaannya dirasakan dengan menghilangkan
perkara-perkara tersebut menjadikan terjaga kebaikan dunia dan akherat yaitu:
Agama, karena dengan diangkatnya ilmu akan menjadikan agama jelek, juga akal
akan rusak dengan meminum khamer, dan zina akan merusak keturunan, jiwa akan
merusak harta disebabkan banyaknya fitnah. Al Kirmaani berkata:
‘Dengan rusaknya lima perkara
ini adalah sebuah pertanda akan hancurnya seorang alim karena manusia tidak
akan meninggalkan begitu saja, dan karena tidak ada nabi setelah nabi kita
Shallallaahu ‘alahi wasallam, maka menjadi jelaslah hal itu.’
Al Qurthubi berkata di dalam Al Mufham:
‘Di dalam hadits ini telah
diketahui bahwa termasuk pengajaran nubuwah (kenabian) adalah mengkabarkan
tentang perkara-perkara yang akan terjadi maka terjadilah, khususnya pada zaman
ini’ “
[Fathul Baari I/179]
Lihatlah bagaimana Al Qurthubi mensifati zamannya!
Dan yang lebih keras dari pada hal itu apa yang telah disebutkan oleh Al
Baihaqi (wafat tahun 458 H) beliau telah menyebutkan di dalam kitabnya Dalaa-ilu
An Nubuwwah hadits Anas “Sesungguhnya termasuk dari tanda-tanda
hari kiamat adalah diangkatnya ilmu….” di dalam bab tentang “Apa-apa
yang dibawa tentang kabar Nabi Shallallaahu ‘alahi wasallam dengan hilangnya
ilmu dan munculnya kebodohan, hal itu telah hilang pada zaman kita di berbagai
kebanyakan negeri, dan penduduknya dikuasai oleh orang-orang bodoh, dan muncul
seluruh apa yang diriwayatkan tentang kabar itu” lihat Dalaa-ilu An
Nubuwwah VI/543 karangan Al Baihaqi, cet. Daarul Kutub Al
Ilmiyah 1405 H. jika ini yang disifati oleh Al Baihaqi pada
zamannya, artinya hampir kira-kira seribu tahun yang lalu, lalu bagaimana
dengan zaman kita hari ini dan penduduknya? Dan sungguh keadaan penduduk pada
zaman kita inilah salah satu yang mendorong saya untuk mengarang buku ini
sebagaimana yang telah kami sebutkan di dalam Al Muqaddimah (kata pengantar).
Tambahan: Kurangnya ilmu itu terjadi dengan meninggalnya para
ulama’ sebagaimana yang terdapat pada hadits pencabutan ilmu “Akan tetapi
mencabut ilmu itu dengan mencabut nyawa ulama’” hadits tersebut di atas, Ibnu
Hajar berkata:
“Setiap seorang alim yang meninggal disuatu negeri dan tidak ada yang menggantikannya maka berkuranglah ilmu pada negeri tersebut”
[Fathul Baari
XIII/17]
Dan Abu Sulaiman Al Khithaabi menyebutkan hadits pencabutan
ilmu di dalam kitabnya (Al Uzlah) dan beliau berkata di dalamnya:
“Rasulullah Shallallaahu ‘alahi wasallam telah mengajarkan bahwa celanya ilmu adalah dengan hilangnya orang-orang yang berilmu dan penyelewengan orang-orang bodoh serta kepemimpinan mereka terhadap manusia dengan nama ilmu dan mengingatkan manusia untuk mengikuti orang-orang yang memiliki sifat-sifat ini, dan beliau juga mengkhabarkan bahwa mereka adalah sesat dan menyesatkan – kemudian Al Khithaabi meriwayatkan dengan sanadnya – dari Anas dari Nabi Shallallaahu ‘alahi wasallam:
إِنَّ مِن أَشْراَطِ السَّاعَةِ أَن يُرْفَعَ
العِلْمُ وَيَظْهَرُ الجَهْلُ
“Sesungguhnya
termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan munculnya
kebodohan”
--- dan telah diriwayatkan oleh Al Bukhaari --- Al
Khithaabi berkata:
“Yang dia maksud, wallahu a’lam,
munculnya kebodohan yang menyelewengkan ilmu dan menjadi pemimpin bagi manusia
sebelum mereka memahami agama dan sebelum mendalam ilmunya”
[Kitaabul Uzlah,
hal. 96, cet. As Salafiyah]
Akan tetapi ilmu itu tidak diangkat secara keseluruhan dari bumi selama masih
ada At Thaaifah Al Manshuurah dan itu akan selalu ada hingga
datangnya tiupan angin yang mencabut nyawa orang-orang mukmin. Itu akan terjadi
setelah dimulai tanda-tanda hari kiamat yang besar seperti keluarnya dan
terbunuhnya Dajjal, turunnya Isa ‘alihissalaam dan meninggalnya, keluarnya
Ya’juj dan Ma’juj serta kehacurannya, keluarnya matahari dari arah barat,
keluarnya binatang melata dengan kedua peristiwa itu ditutuplah setiap apa yang
ada di dalam hati, kemudian bertiup angin lalu mencabut seluruh ruh orang-orang
mukmin, sehingga tinggal manusia yang paling jelek akhlaknya, dengan adanya
mereka terjadinya kiamat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh beberapa
hadits-hadits tentang hari kiamat. Dan seakan-akan ilmu dan iman itu sebuah
keharusan untuk tetapnya dunia, dan jika ilmu dan iman sudah dicabut maka
terjadilah hari kiamat. Kami memohon kepada Allah untuk kami dan untuk seluruh
kaum muslimin supaya meneguhkan kami diatas agamanya dan mengakhiri hidup kami
dengan amal shalih dan menjadikan jannah sebagai tempat kembali kami tanpa
dengan perdebatan dihari hisab dan tidak didahului dengan azab bersama
orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dari Allah dari para Nabi dan
Shiddiiqiin (orang-orang yang jujur), Syuhada’ (orang-orang yang mati syahid),
dan orang-orang yang shalih dan merekalah sebaik-baik teman, itulah keutamaan
Allah, sesungguhnya Allah maha Mampu atas segala sesuatu, Aamin…
Inilah, kurangnya ilmu dan munculnya kebodohan saling bergandengan dalam
menyebarkan fitnah dan kejahatan, karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah
mengkaitkan --- di dalam KitabNya --- setiap kejahatan dengan kebodohan:
Allah mengkaitkan perbuatan maksiat dengan kebodohan di dalam firmanNya:
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللهِ لِلَّذِينَ
يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ
“Sesungguhnya taubat
di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan
lantaran kejahilan” (QS. An Nisaa’ : 17)
وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ
إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
“Dan jika tidak
Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk
(memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh” (QS. Yusuf : 33)
قَالَ هَلْ عَلِمْتُم مَّافَعَلْتُم بِيُوسُفَ
وَأَخِيهِ إِذْ أَنتُمْ جَاهِلُونَ
“Yusuf berkata:
"Apakah kamu mengetahui (kejelekan) apa yang telah kamu lakukan terhadap
Yusuf dan saudaranya ketika kamu tidak mengetahui (akibat) perbuatanmu itu” (QS. Yusuf : 89)
Beberapa ulama’ salaf mengatakan:
“Setiap orang yang berbuat
maksiat kepada Allah maka dia adalah orang yang bodoh.”
Allah juga mengkaitkan kedhaliman dengan kebodohan di dalam firmanNya:
وَحَمَلَهَا اْلإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولاً
“Dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al Ahzaab : 72)
Allah juga mengkaitkan kesesatan dengan kebodohan di dalam firmanNya:
وَإِنَّ كَثِيْراً لَيُضِلُّونَ
بِأَهْواَئِهِم بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالمُعْتَدِينَ
“Dan sesungguhnya
kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan
hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al An’aam : 119)
Allah juga mengkaitkan kemunafikan dengan kebodohan di dalam firmanNya:
وَلَكِنَّ المُناَفِقِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi
orang-orang munafik itu tidak mengetahuinya” (QS. Al Munaafiquun: 8)
Begitu juga Allah mengkaitkan kekafiran dan kesyirikan serta berpaling dari
kebenaran dengan kebodohan, di dalam firmanNya:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ
أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
“Katakanlah:"Maka
apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-: orang yang tidak
berpengetahuan” (QS. Az Zumar : 64)
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ
اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ
مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّيَعْلَمُونَ
“Dan jika seseorang
dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah
ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia yang aman
baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (QS. At Taubah : 6)
أَمِ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ ءَالِهَةً قُلْ
هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ هَذَا ذِكْرُ مَن مَّعِيَ وَذِكْرُ مَن قَبْلِي بَلْ
أَكْثَرُهُمْ لاَيَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُم مُّعْرِضُونَ
“Apakah mereka
mengambil ilah-ilah selainnya. Katakanlah: "Tunjukkanlah hujjahmu!
(al-Qur'an) Ini adalah petunjuk bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan
bagi orang-orang sebelumku". Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui
yang hak, karena itu mereka berpaling” (QS. Al Anbiyaa’ : 24)
Ini semua menunjukkan akan bahaya kebodohan, dan menunjukkan pemahaman secara
implisit akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu serta pentingnya
untuk menyebarluaskan dan mengajarkannya. Karena kebalikan dari itu akan
menampakkan kebaikan kebalikannya.
Dengan ini kami akhiri pembahasan di dalam menyebutkan dalil-dalil dari As
Sunnah tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu.
Dirangkum seperlunya
(bersambung)
Syukron...barokallohu fikum...
BalasHapus'afwan.
Hapuswa fiikum barakallaah.