Latest Article

Penyebab Ikhtilaf #5

Seorang ‘ulama mujtahid telah mendapati atau mengetahui suatu dalil (hadits) yang shahih, akan tetapi ia tidak menyadari bila dalil (hadits) itu telah mansukh (dihapus atau diganti dengan dalil lain). Inilah penyebab kelima dari beberapa penyebab ikhtilaf di kalangan ‘ulama. Di zaman para shahabat, penyebab ini sudah terjadi, di antaranya:


1. Di awal – awal perintah shalat, ada ketentuan bahwa pada saat ruku’, kedua tangan disatukan (tathbiiq) dan diletakkan (disimpan) di antara kedua lutut. Akan tetapi hal tersebut telah di-mansukh oleh Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam. Sebagai gantinya, kedua tangan (telapak tangan) harus diletakkan di atas lutut dengan jari – jari yang direnggangkan.

Suatu ketika, Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu shalat bersama ‘Alqamah dan Al Aswad. Ketika ruku’, beliau menyatukan kedua tangan dan menyimpannya di antara kedua lutut. Namun, kedua shahabat yang mendampingi beliau meletakkan kedua tangan pada posisi yang berbeda. Kemudian seusai shalat, beliau melarang kedua shahabat dari posisi tangan yang berbeda tersebut dan menyuruh mereka untuk tathbiiq (menyatukan kedua tangan). Kenapa bisa begitu? Sebab, beliau belum mengetahui bila ketentuan posisi tangan yang di-tathbiiq pada saat ruku’ telah dihapus (mansukh).

2. Di dalam Bulughul Maram bab “Khusyuk dalam Shalat” terdapat penjelasan bahwa di awal – awal Islam dan turunnya perintah shalat, berbicara di dalam shalat diperbolehkan. Sehingga sebagian shahabat pernah berbisik – bisik dalam shalatnya dan hal tersebut dibiarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Akan tetapi setelah turunnya ayat:

حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.
(QS Al Baqarah [2]: 238)

Maka para setelah itu, berbicara dalam shalat menjadi dilarang. Silahkan merujuk pada hadits dari Zaid bin Arqam dalam Shahih Bukhari no. 1125 dan Shahih Muslim no. 838.

Suatu ketika, Mu’awiyyah bin Al Hakam As Sulami shalat bersama Rasulullaah dan para shahabat. Tiba – tiba beliau mendengar orang bersin dan seketika itu beliau berucap “Yarhamukallaah (Semoga Allah memberimu rahmat)”. Maka setelah itu seluruh jama’ah shalat langsung memalingkan pandangan ke arah Mu’awiyyah dan memelototinya. Beliau berkata lagi di dalam shalat “Aduh, mengapa kalian semua memelototiku ?”. Beliau belum mengetahui bila syari’at berbicara dalam shalat telah di-mansukh. Meski demikian, Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam memberinya udzur yakni tidak menyuruhnya mengulang shalat karena ketidaktahuan akan hal ini. Silahkan melihat Shahih Muslim no. 836.

Dari kedua contoh di atas, semua ketidaktahuan tersebut di-ma’dzur (dimaafkan), dimaklumi serta ibadah yang dilakukan tetap sah. Sehingga bila seseorang sudah tahu syar’iat yang benar (syari’at yang nasakh/menghapus dan syari’at yang mansukh/dihapus), akan tetapi tetap melakukan syari’at yang mansukh, maka ia tidak diberi udzur dan ibadahnya batal.


Disadur dari penjelasan kajian Al Khilaaf baina Al ‘Ulamaa’ wa Asbaabuhu wa Mauqifunaa minhu, Kitaabul ‘Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah.

Penyebab Ikhtilaf #4

Seorang mujtahid sudah mendapati suatu hadits dan yakin akan keshahihan jalur sanadnya, akan tetapi ia memahaminya dengan tidak tepat. Akibatnya, ia pun keliru dalam berijtihad dan timbullah ikhtilaf.


Kasus perbedaan tafsir kalimat }  أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء { (menyentuh perempuan) dalam QS An Nisaa’ ayat 43 menjadi salah satu contoh yang akan dipaparkan di sini. Dalam ayat tersebut, Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ

“…Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). Sapulah mukamu dan tanganmu….”

Para ‘ulama rahimahumullaah berikhtilaf dalam memahami makna kalimat tersebut. Setidaknya ada 3 pendapat dalam masalah ini:
1. Sekedar sentuhan sudah menjadi batal, baik sengaja ataupun tidak, baik dengan istri ataupun selainnya.
2. Batal bila menyentuh dengan syahwat.
3. Berjima’ (berhubungan badan) dengan istri. Pendapat ini diambil oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma.

Jadi, mana pendapat yang benar ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah mengomentari hal ini bahwa jika kita perhatikan dari segala sisi serta diperkuat oleh ayat dan hadits lain tentang masalah ini, maka pendapat yang benar adalah pendapat ketiga: berjima’. Sebab, Allah menerangkan 2 jenis thaharah (bersuci) menggunakan air: thaharah dari hadats kecil & dari hadats besar.

Mengenai hadats kecil, Dia berfirman:

فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ

“…maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (QS Al Maa’idah [5]: 6)

Sedangkan untuk hadats besar, Dia berfirman } وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ { “..dan jika kamu junub maka mandilah…”  (QS Al Maa’idah [5]: 6)

Al Qur’an memiliki balaghah yang tinggi dan hal itu dapat ditemukan pada ayat-ayat dalam masalah ini. Ketinggian balaghah ayat 6 Surah Al Maa’idah ini juga menyebutkan alasan/sebab 2 thaharah (kecil dan besar) dimasukkan ke dalam tayammum.

Ayat } أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ } “…atau kembali dari tempat buang air (kakus)..” mengisyaratkan sebab thaharah dari hadats kecil. Sedangkan ayat أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء} { “…atau menyentuh perempuan…” mengisyaratkan sebab thaharah dari hadats besar.

Andai kita artikan “menyentuh” dalam ayat tadi sebagai sentuhan biasa, maka penyebutan semua sebab-sebab pada ayat ini dipastikan termasuk dalam penyebab thaharah dari hadats kecil dan tidak ada keterangan sebab untuk thaharah dari hadats besar. Sehingga hal ini bertentangan dengan ketinggian balaghah yang seharusnya dimiliki oleh ayat-ayat Al Qur’an.

Kasus kedua berkaitan dengan perbedaan ijtihad akibat salah dalam memahami dalil ialah kisah pelaksanaan shalat Ashar dalam perjalanan menuju wilayah bani Quraizhah yang sudah masyhur bagi kita (silahkan merujuk ke Shahih Bukhari no. 894, 3810, dll). Suatu saat Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam mengutus rombongan shahabat ke perkampungan Yahudi bani Quraizhah. Sebelum pemberangkatan, beliau berpesan:

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

“Jangan kalian shalat Ashar hingga tiba di perkampungan bani Quraizhah.”

Di tengah perjalanan, waktu shalat Ashar telah datang. Para shahabat pun berikhtilaf dan mereka terbagi ke dalam 2 pendapat:
1. Harus melaksanakan shalat Ashar di tengah perjalanan meski belum tiba ke tujuan. Sebab, shalat Ashar harus dilaksanakan di awal waktu dan tidak boleh diakhirkan. Pendapat ini menafsirkan pesan Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam tadi sebagai sebuah keharusan untuk tiba di bani Quraizhah pada saat waktu Ashar. Akan tetapi karena adanya rintangan saat perjalanan, rombongan ini pun belum tiba.
2. Tidak melaksanakan shalat Ashar hingga tiba di perkampungan tersebut walau sudah memasuki waktu malam.

Mana yang benar ?

Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin rahimahullaah mengomentari bahwa pendapat yang benar adalah shalat di awal waktu karena nash-nash ayat dan hadits yang mewajibkan shalat di awal waktu termasuk nash yang muhkamat dan sharih (jelas). Adapun pesan Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam tersebut masih musytabah (samar), sehingga nash yang muhkam harus didahulukan daripada nash yang musytabah. Dengan demikian ucapan beliau tadi mengandung maksud bahwa rombongan harus segera tiba di perkampungan bani Quraizhah dan jangan sampai terlambat.

Sedangkan dalam Fathul-Baari’, Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullaah mengatakan:

“Kesimpulan dari kisah ini ialah bahwa para shahabat ada yang memahami larangan ini berdasarkan hakikatnya. Mereka tidak memperdulikan habisnya waktu sebagai penguat larangan yang kedua terhadap larangan pertama yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya menunda waktu shalat karena disibukkan oleh peperangan, sama halnya dengan kejadian pada masa itu, dalam peristiwa Khandaq. Juga telah disebutkan dalam hadits Jabir bahwa mereka shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam karena sibuk berperang…Yang lain memahaminya sebagai kiasan untuk mendorong mereka agar bersegera menuju Bani Quraizhah.
Dari hadits ini, jumhur (mayoritas ‘ulama) mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad (meski keliru, red) karena Rasulullah  shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut.”

Dari kedua contoh di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa salah satu sebab ikhtilaf (perselisihan/perbedaan) pendapat di kalangan ‘ulama ialah kekeliruan dalam memahami dalil meskipun dalil itu sudah ia peroleh dan ia mempercayai keshahihan jalur periwayatannya.

wallaahu a’lam.


Diringkas dari kajian Al Khilaaf baina Al ‘Ulamaa’ wa Asbaabuhu wa Mauqifunaa minhu, Kitaabul ‘Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah dengan disertai kutipan tambahan.

Penyebab Ikhtilaf #3

Kita tidak bisa memungkiri bahwa salah satu fitrah manusia adalah sifat lupa. Bahkan Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam pun pernah mengalaminya. Suatu ketika, beliau shalat bersama para shahabat. Di tengah-tengah bacaan suatu ayat, beliau tiba-tiba lupa. Tidak ada shahabat yang mengingatkan beliau. Usai shalat, beliau bertanya kepada Ubay bin Ka’ab radliyallaahu ‘anhu (yang juga ikut shalat):

فَمَا مَنَعَكَ
Apa yang menghalangi kamu (untuk memberitahu aku tentang ayat itu) ?"

[HR. Abu Dawud no. 773]

Allah ta’aala telah berfirman

سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنسَى۝ إِلَّا مَا شَاء اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى۝

Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali jika Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.
(QS Al A’laa [87]: 6 – 7)


Oleh sebab itu, sifat lupa juga menjadi salah satu penyebab seorang ‘ulama (mujtahid) salah berijtihad sehingga menyebabkan perbedaan pendapat dengan ‘ulama lain. Penyebab ini juga sudah terjadi di kalangan para shahabat radliyallaahu ‘anhum.

Suatu saat, ‘Umar bin Khaththab dan ‘Ammar bin Yasir radliyallaahu ‘anhuma diutus dalam sebuah sariyah (ekspedisi/peperangan). Di tengah jalan, mendadak keduanya bersamaan junub. ‘Ammar berijtihad bahwa jika tidak ada air, maka bersucinya dengan tanah. Sehingga dengan pendapat tersebut, beliau berguling – guling di tanah, kemudian shalat.  Sementara ‘Umar tidak berwudhu (tidak ada air), tidak juga bertayammum (belum ada syari’at tayammum untuk junub), juga tidak berguling – guling sebagaimana ‘Ammar sehingga beliau belum melaksanakan shalat.

Setelah sampai di Madinah, keduanya bertemu Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam dan menanyakan hal ini. Maka beliau mengajari cara yang benar (bertayammum):

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَضْرِبَ بِيَدَيْكَ الْأَرْضَ ثُمَّ تَنْفُخَ ثُمَّ تَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَكَ وَكَفَّيْكَ

“Cukup bagimu untuk memukulkan kedua tanganmu ke  tanah, kemudian meniupnya, kemudian mengusap wajah dan kedua tanganmu dengan keduanya."

Saat menjadi khalifah, ‘Umar mendengar ‘Ammar meriwayatkan hadits ini. Beliau lantas bertanya,

“Hadits apa yang engkau riwayatkan ini ?”

‘Ammar menjawab,

“Tidak ingatkah engkau ketika kita diutus Nabi shallallahu ‘alahi wasallam untuk suatu hal? Kemudian kita junub dan kita tidak menemukan air. Engkau tidak mengerjakan shalat sedangkan aku bergulingan di atas tanah lalu shalat. Kemudian aku sampaikan masalah itu kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam lalu beliau bersabda: “Sebenarnya cukup kamu melakukan begini.” (mengajarkan tayammum)

Umar berkata, "Bertakwalah kepada Allah, wahai Ammar !"

‘Ammar merespon,

"Jika engkau mau karena Allah telah mewajibkan aku untuk taat padamu, lalu engkau mau agar aku tidak menyampaikan hadits ini, maka akan aku lakukan (tidak akan menyampaikannya)."

Maka ‘Umar berkata, “Kami mengangkatmu menjadi wali atas sesuatu yang engkau kuasai.

Ungkapan ini berarti persetujuan dari ‘Umar agar hadits tersebut disampaikan kepada ummat.

[Silahkan meruju’ ke Shahih Muslim no. 553, Shahih Bukhari no. 326, Musnad Imam Ahmad no. 18125, dll]

Pendapat ‘Umar didukung oleh Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu sedangkan pendapat ‘Ammar dipegang oleh Abu Musa Al Asy’ari radliyallahu ‘anhu. Suatu hari, kedua shahabat ini (Ibnu Mas’ud dan Abu Musa) juga pernah terlibat diskusi tentang masalah yang serupa.

Tatkala Abu Musa berhujjah dengan pendapat ‘Ammar, Ibnu Mas’ud merespon,

“Bukankah ‘Umar tidak puas (tidak sepakat) dengan pendapat ‘Ammar ?”

Abu Musa berkata,

“Baik, kita tinggalkan pendapat ‘Ammar !  Lalu bagaimana dengan ayat ini (QS Al Maa’idah ayat 6)?”

وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ

“…Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…

Ibnu Mas’ud tidak tahu apa yang harus beliau katakan, hingga pada akhirnya berujar

Andai kami beri keringanan mereka dalam masalah ini, lalu dikhawatirkan mereka merasa kedinginan karena air, maka mereka tidak mau menggunakan air dan akan melakukan tayamum.”

[Lihat Shahih Bukhari no. 333, Shahih Muslim no. 552, Musnad Imam Ahmad no. 17612, dll]

Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullaah mengomentari hal ini

“Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa kebenaran berada pada kelompok yang berpendapat bahwa apabila mengalami junub (dan tidak didapati air, red) maka hendaknya bertayamum sebagaimana bertayamum saat berhadats kecil. Dengan demikian, jika manusia benar-benar lupa (suatu nash/dalil, red) sehingga suatu hukum syar’i tersembunyi darinya, kemudian ia mengatakan sebuah pendapat, maka ia diudzur. Akan tetapi bila ia mengetahui dalilnya, maka ia tidak diudzur (jika menyelisihi, red).”

wallaahu a’lam


Diringkas dari kajian Al khilaaf baina Al ‘Ulamaa’ wa Asbaabuhu wa Mauqifunaa minhuKitaabul ‘Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah dengan sedikit perubahan.

Penyebab Ikhtilaf #2


Ada kalanya ‘ulama atau mujtahid sudah mendengar suatu dalil (hadits) namun ia tidak percaya dengan orang yang membawa dalil (hadits) tersebut sehingga ia tidak menjadikan dalil itu untuk berijtihad.

Penyebab ini sudah terjadi di kalangan shahabat yakni Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu. Dalam Shahih Muslim no. 2715, 2717, 2721, 2722, dll (masih banyak lagi jalur periwayatan hadits ini) suatu ketika ada seorang wanita bernama Fathimah binti Qais radliyallaahu ‘anha telah ditalak 3 oleh suaminya yakni Abu Amru bin Hafsh bin Al Mughirah radliyallaahu ‘anhu. Lalu sang suami mengirim seorang utusan untuk mengirimkan nafkah kepada mantan istrinya (Fathimah binti Qais) selama masa ‘iddah. Namun sang istri marah dan tidak mengambil nafkah tersebut. Kemudian keduanya mengadu masalah ini kepada Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam. Beliau bersabda bahwa tidak ada nafkah dan tidak ada jaminan tempat tinggal bagi Fathimah binti Qais. Beliau menyuruhnya untuk menunggu masa iddah di rumah Abdullah bin Ummi Maktum.

Talak ini (talak ba’in) merupakan jenis talak yang sudah tidak bisa rujuk (kembali) kecuali jika sang mantan istri menikah dengan suami yang baru. Sedangkan untuk kasus talak 1 & 2, maka sang istri masih tetap diberi nafkah dan tempat tinggal. Akan tetapi untuk kasus wanita hamil yang ditalak 3, maka ia harus tetap diberi nafkah dan tempat tinggal sebagaimana QS Ath Thaalaq ayat 6:

وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
               
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”

‘Umar radliyallaahu ‘anhu belum mengetahui sunnah (hadits) ini, sehingga beliau berpendapat bahwa wanita yang sudah ditalak 3 harus tetap diberi nafkah dan tempat tinggal oleh mantan suaminya selama masa ‘iddah. Beliau berpendapat dengan QS Ath Thaalaq ayat 6 tadi. Fathimah binti Qais datang lalu menceritakan kisah ini dan menyampaikan hadits tadi kepada Umar radliyallaahu ‘anhu. Akan tetapi beliau tidak menerima riwayat yang dibawa oleh Fathimah binti Qais lalu mengatakan:

أنترك قول ربنا لقول امرأة لا ندري أذكرت أم نسيت ؟

“Apakah kita akan meninggalkan firman Allah hanya karena perkataan wanita yang kita tidak tahu apakah ia ingat atau lupa ?”

wallaahu a’lam.


Diringkas dari kajian Al khilaaf baina Al ‘Ulamaa’ wa Asbaabuhu wa Mauqifunaa minhuKitaabul ‘Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah dengan sedikit perubahan.

Penyebab Ikhtilaf #1


Penyebab pertama terjadinya ikhtilaf di kalangan ‘ulama adalah belum sampainya dalil sehingga sebagian ‘ulama salah dalam berijtihad. Berikut ini beberapa contoh yang terjadi di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum ajma’iin.

·          Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari no. 5228, suatu saat ‘Umar radliyallaahu ‘anhu beserta rombongan shahabat bepergian (safar) ke Syam. Di tengah jalan mereka mendengar berita bahwa di Syam muncul wabah penyakit tha’un (kusta). Lalu mereka bermusyawarah untuk memutuskan keberlanjutan perjalanan. Hasil musyawarah tersebut terbagi ke dalam 2 pendapat:

-  Melanjutkan perjalanan karena wabah tersebut sudah menjadi takdir Allah.
-  Menghentikan perjalanan dan kembali pulang

Kedua pendapat tadi tidak berpegang kepada nash/dalil tertentu, meski pada akhirnya pendapat yang disepakati ialah kembali pulang. Lalu beberapa saat, ‘Abdurrahman bin ‘Auf radliyallahu ‘anhu datang dan menanyakan penyebab rombongan balik pulang. Setelah diberitahu bahwa ada wabah tha’un, beliau berkata:

“Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam telah bersabda: Jika engkau mendengar ada wabah tha’un di suatu negeri, janganlah engkau mendatangi negeri itu. Tapi bila engkau mendengar ada wabah tha’un di suatu negeri dan engkau berada di dalamnya, maka janganlah engkau keluar dari negeri itu untuk menghindarinya.”

Dengan demikian, ijtihad para shahabat benar meskipun sebelumnya mereka tidak mengetahui dalil (hadits) tersebut kecuali ‘Abdurrahman bin ‘Auf.

·       Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berpendapat bahwa apabila ada wanita hamil ditinggal wafat oleh suaminya, maka masa ‘iddah (masa tunggu untuk menikah lagi) wanita tadi ialah masa ‘iddah terlama antara 2 masa ‘iddah dalam Al Qur’an yakni :

-  QS Ath Thalaaq ayat 4 = Hingga melahirkan

وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.

-  QS Al Baqarah ayat 234 = Hingga 4 bulan 10 hari

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.

Artinya bila jarak waktu antara kematian sang suami dengan waktu melahirkan lebih dari 4 bulan 10 hari, maka masa ‘iddah wanita tadi adalah sampai melahirkan. Sebaliknya, bila kurang dari 4 bulan 10 hari, maka masa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari.

Namun, pendapat tersebut tidak sesuai dengan sebuah hadits karena hadits ini belum sampai kepada beliau berdua radliyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dengan nomor 2728 bahwa suatu hari Subai’ah binti Al Harits Al Aslamiyah yang tengah hamil  tua ditinggal wafat oleh suaminya yakni Sa’ad bin Khaulah. Beberapa hari setelah suaminya wafat, ia melahirkan. Setelah suci dari nifas, ia pun berhias diri agar dilamar orang. Lalu Abu Sanabil bin Ba’kak datang lalu berkata:

“Saya melihatmu berhias diri, mungkin karena engkau ingin menikah lagi. Tapi demi Allah, engkau belum boleh menikah lagi sebelum lewat 4 bulan 10 hari.”

Kemudian Subai’ah menemui Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam untuk menanyakan masalah ini. Maka Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam berfatwa padanya bahwa sebenarnya ia sudah halal untuk menikah lagi bahkan beliau menyuruhnya untuk menikah lagi jika berkenan.

Dengan kedua contoh tadi, maka bisa disimpulkan bahwa salah satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama adalah dalil yang belum sampai.

wallaahu a’lam.



Diringkas dari kajian Al khilaaf baina Al ‘Ulamaa’ wa Asbaabuhu wa Mauqifunaa minhu, Kitaabul ‘Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah dengan sedikit perubahan.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. The Last Smile - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger