Penyebab pertama
terjadinya ikhtilaf di kalangan ‘ulama adalah belum sampainya dalil
sehingga sebagian ‘ulama salah dalam berijtihad. Berikut ini beberapa contoh
yang terjadi di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum ajma’iin.
· Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari no. 5228, suatu saat ‘Umar radliyallaahu
‘anhu beserta rombongan shahabat bepergian (safar) ke Syam. Di tengah jalan
mereka mendengar berita bahwa di Syam muncul wabah penyakit tha’un
(kusta). Lalu mereka bermusyawarah untuk memutuskan keberlanjutan perjalanan.
Hasil musyawarah tersebut terbagi ke dalam 2 pendapat:
- Melanjutkan perjalanan karena wabah tersebut sudah menjadi
takdir Allah.
- Menghentikan perjalanan dan kembali pulang
Kedua pendapat tadi tidak berpegang kepada nash/dalil
tertentu, meski pada akhirnya pendapat yang disepakati ialah kembali pulang. Lalu beberapa saat, ‘Abdurrahman bin ‘Auf radliyallahu
‘anhu datang dan menanyakan penyebab rombongan balik pulang. Setelah
diberitahu bahwa ada wabah tha’un, beliau berkata:
“Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam telah bersabda:
Jika engkau mendengar ada wabah tha’un di suatu negeri, janganlah engkau
mendatangi negeri itu. Tapi bila engkau mendengar ada wabah tha’un di suatu
negeri dan engkau berada di dalamnya, maka janganlah engkau keluar dari negeri
itu untuk menghindarinya.”
Dengan demikian, ijtihad para shahabat benar meskipun
sebelumnya mereka tidak mengetahui dalil (hadits) tersebut kecuali ‘Abdurrahman
bin ‘Auf.
· Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum
berpendapat bahwa apabila ada wanita hamil ditinggal wafat oleh suaminya, maka masa
‘iddah (masa tunggu untuk menikah lagi) wanita tadi ialah masa ‘iddah terlama antara
2 masa ‘iddah dalam Al Qur’an yakni :
- QS Ath Thalaaq ayat 4 = Hingga melahirkan
وَأُوْلَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.”
- QS Al Baqarah ayat 234 = Hingga 4 bulan 10 hari
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.”
Artinya
bila jarak waktu antara kematian sang suami dengan waktu melahirkan lebih dari
4 bulan 10 hari, maka masa ‘iddah wanita tadi adalah sampai melahirkan. Sebaliknya,
bila kurang dari 4 bulan 10 hari, maka masa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari.
Namun,
pendapat tersebut tidak sesuai dengan sebuah hadits karena hadits ini belum
sampai kepada beliau berdua radliyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam shahihnya dengan nomor 2728 bahwa suatu hari Subai’ah binti
Al Harits Al Aslamiyah yang tengah hamil tua ditinggal wafat oleh suaminya yakni Sa’ad
bin Khaulah. Beberapa hari setelah suaminya wafat, ia melahirkan. Setelah suci
dari nifas, ia pun berhias diri agar dilamar orang. Lalu Abu Sanabil bin Ba’kak
datang lalu berkata:
“Saya
melihatmu berhias diri, mungkin karena engkau ingin menikah lagi. Tapi demi
Allah, engkau belum boleh menikah lagi sebelum lewat 4 bulan 10 hari.”
Kemudian
Subai’ah menemui Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam untuk menanyakan
masalah ini. Maka Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam berfatwa padanya
bahwa sebenarnya ia sudah halal untuk menikah lagi bahkan beliau menyuruhnya
untuk menikah lagi jika berkenan.
Dengan
kedua contoh tadi, maka bisa disimpulkan bahwa salah satu penyebab terjadinya
perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama adalah dalil yang belum sampai.
wallaahu
a’lam.
Diringkas dari kajian Al khilaaf baina Al ‘Ulamaa’ wa Asbaabuhu wa Mauqifunaa minhu, Kitaabul ‘Ilmi karya Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah dengan sedikit perubahan.
0 comments :
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.