Seorang ‘ulama mujtahid telah mendapati atau mengetahui suatu dalil
(hadits) yang shahih, akan tetapi ia tidak menyadari bila dalil (hadits) itu
telah mansukh (dihapus atau diganti dengan dalil lain). Inilah penyebab kelima
dari beberapa penyebab ikhtilaf di kalangan ‘ulama. Di zaman para shahabat,
penyebab ini sudah terjadi, di antaranya:
1. Di awal – awal perintah shalat, ada ketentuan bahwa pada saat ruku’, kedua tangan disatukan (tathbiiq) dan diletakkan (disimpan) di antara kedua lutut. Akan tetapi hal tersebut telah di-mansukh oleh Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam. Sebagai gantinya, kedua tangan (telapak tangan) harus diletakkan di atas lutut dengan jari – jari yang direnggangkan.
Suatu ketika, Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu
shalat bersama ‘Alqamah dan Al Aswad. Ketika ruku’, beliau menyatukan kedua
tangan dan menyimpannya di antara kedua lutut. Namun, kedua shahabat yang
mendampingi beliau meletakkan kedua tangan pada posisi yang berbeda. Kemudian
seusai shalat, beliau melarang kedua shahabat dari posisi tangan yang berbeda
tersebut dan menyuruh mereka untuk tathbiiq (menyatukan kedua tangan). Kenapa
bisa begitu? Sebab, beliau belum mengetahui bila ketentuan posisi tangan yang
di-tathbiiq pada saat ruku’ telah dihapus (mansukh).
2. Di dalam Bulughul Maram bab “Khusyuk dalam Shalat” terdapat penjelasan bahwa di awal – awal Islam dan turunnya perintah shalat, berbicara di dalam shalat diperbolehkan. Sehingga sebagian shahabat pernah berbisik – bisik dalam shalatnya dan hal tersebut dibiarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Akan tetapi setelah turunnya ayat:
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan
(peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu'.”
(QS Al Baqarah [2]: 238)
Maka para setelah itu, berbicara dalam shalat menjadi
dilarang. Silahkan merujuk pada hadits dari Zaid bin Arqam dalam Shahih
Bukhari no. 1125 dan Shahih Muslim no. 838.
Suatu ketika, Mu’awiyyah bin Al Hakam As Sulami shalat
bersama Rasulullaah dan para shahabat. Tiba – tiba beliau mendengar orang bersin
dan seketika itu beliau berucap “Yarhamukallaah (Semoga Allah memberimu
rahmat)”. Maka setelah itu seluruh jama’ah shalat langsung memalingkan
pandangan ke arah Mu’awiyyah dan memelototinya. Beliau berkata lagi di dalam
shalat “Aduh, mengapa kalian semua memelototiku ?”. Beliau belum
mengetahui bila syari’at berbicara dalam shalat telah di-mansukh. Meski
demikian, Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam memberinya udzur yakni tidak
menyuruhnya mengulang shalat karena ketidaktahuan akan hal ini. Silahkan melihat
Shahih Muslim no. 836.
Dari kedua contoh di atas, semua ketidaktahuan tersebut di-ma’dzur (dimaafkan),
dimaklumi serta ibadah yang dilakukan tetap sah. Sehingga bila seseorang
sudah tahu syar’iat yang benar (syari’at yang nasakh/menghapus dan syari’at
yang mansukh/dihapus), akan tetapi tetap melakukan syari’at yang mansukh,
maka ia tidak diberi udzur dan ibadahnya batal.
Disadur dari penjelasan kajian Al Khilaaf baina Al ‘Ulamaa’ wa Asbaabuhu wa Mauqifunaa minhu, Kitaabul
‘Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah.