Kita tidak bisa
memungkiri bahwa salah satu fitrah manusia adalah sifat lupa. Bahkan Rasulullah
shallallaahu ‘alahi wasallam pun pernah mengalaminya. Suatu ketika,
beliau shalat bersama para shahabat. Di tengah-tengah bacaan suatu ayat, beliau
tiba-tiba lupa. Tidak ada shahabat yang mengingatkan beliau. Usai shalat,
beliau bertanya kepada Ubay bin Ka’ab radliyallaahu ‘anhu (yang juga ikut
shalat):
فَمَا مَنَعَكَ
“Apa yang
menghalangi kamu (untuk memberitahu aku tentang ayat itu) ?"
[HR. Abu
Dawud no. 773]
Allah ta’aala
telah berfirman
سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنسَى إِلَّا مَا شَاء اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى
“Kami akan membacakan (Al Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka
kamu tidak akan lupa, kecuali
jika Allah
menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.”
(QS Al A’laa [87]:
6 – 7)
Oleh sebab itu, sifat lupa juga menjadi
salah satu penyebab seorang ‘ulama (mujtahid) salah berijtihad sehingga
menyebabkan perbedaan pendapat dengan ‘ulama lain. Penyebab ini juga sudah
terjadi di kalangan para shahabat radliyallaahu ‘anhum.
Suatu saat, ‘Umar bin Khaththab dan ‘Ammar
bin Yasir radliyallaahu ‘anhuma diutus dalam sebuah sariyah
(ekspedisi/peperangan). Di tengah jalan, mendadak keduanya bersamaan junub. ‘Ammar
berijtihad bahwa jika tidak ada air, maka bersucinya dengan tanah. Sehingga
dengan pendapat tersebut, beliau berguling – guling di tanah, kemudian shalat. Sementara ‘Umar tidak berwudhu (tidak ada air),
tidak juga bertayammum (belum ada syari’at tayammum untuk junub), juga tidak
berguling – guling sebagaimana ‘Ammar sehingga beliau belum melaksanakan
shalat.
Setelah sampai di Madinah, keduanya
bertemu Nabi shallallaahu ‘alahi wasallam dan menanyakan hal ini. Maka beliau mengajari cara yang benar (bertayammum):
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَضْرِبَ بِيَدَيْكَ الْأَرْضَ ثُمَّ تَنْفُخَ ثُمَّ تَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَكَ وَكَفَّيْكَ
“Cukup bagimu untuk memukulkan kedua tanganmu ke tanah, kemudian meniupnya, kemudian mengusap wajah dan kedua tanganmu dengan keduanya."
Saat menjadi khalifah, ‘Umar mendengar ‘Ammar
meriwayatkan hadits ini. Beliau lantas bertanya,
“Hadits apa yang engkau riwayatkan ini ?”
‘Ammar menjawab,
“Tidak ingatkah engkau ketika kita diutus Nabi shallallahu ‘alahi wasallam untuk suatu hal? Kemudian kita junub dan kita tidak
menemukan air. Engkau tidak mengerjakan shalat sedangkan
aku bergulingan di atas
tanah lalu shalat.
Kemudian aku sampaikan masalah itu kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam lalu
beliau bersabda: “Sebenarnya cukup kamu melakukan begini.” (mengajarkan tayammum)
‘Umar berkata, "Bertakwalah kepada
Allah, wahai ‘Ammar !"
‘Ammar merespon,
"Jika
engkau mau karena Allah
telah mewajibkan aku untuk taat padamu, lalu engkau mau agar aku tidak
menyampaikan hadits ini, maka akan aku lakukan (tidak akan menyampaikannya)."
Maka ‘Umar berkata, “Kami
mengangkatmu menjadi wali atas sesuatu yang engkau kuasai.”
Ungkapan ini berarti persetujuan dari ‘Umar agar hadits
tersebut disampaikan kepada ummat.
[Silahkan meruju’
ke Shahih Muslim no. 553, Shahih Bukhari no. 326, Musnad Imam Ahmad no. 18125, dll]
Pendapat ‘Umar
didukung oleh Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu sedangkan pendapat
‘Ammar dipegang oleh Abu Musa Al Asy’ari radliyallahu ‘anhu. Suatu hari,
kedua shahabat ini (Ibnu Mas’ud dan Abu Musa) juga pernah terlibat diskusi
tentang masalah yang serupa.
Tatkala Abu Musa
berhujjah dengan pendapat ‘Ammar, Ibnu Mas’ud merespon,
“Bukankah ‘Umar
tidak puas (tidak sepakat) dengan pendapat ‘Ammar ?”
Abu Musa berkata,
“Baik,
kita tinggalkan pendapat ‘Ammar ! Lalu bagaimana dengan ayat ini (QS Al
Maa’idah ayat 6)?”
وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ
تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ
“…Dan jika
kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih). sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…”
Ibnu Mas’ud tidak tahu apa yang harus beliau katakan, hingga pada akhirnya berujar
“Andai
kami beri keringanan mereka dalam masalah ini, lalu dikhawatirkan mereka merasa kedinginan karena air, maka mereka tidak mau
menggunakan air dan akan melakukan tayamum.”
[Lihat Shahih
Bukhari no. 333, Shahih Muslim no. 552, Musnad Imam Ahmad no. 17612, dll]
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullaah mengomentari hal ini
“Akan tetapi tidak
diragukan lagi bahwa kebenaran berada pada kelompok yang berpendapat bahwa
apabila mengalami junub (dan tidak didapati air, red) maka hendaknya bertayamum
sebagaimana bertayamum saat berhadats kecil. Dengan demikian, jika manusia
benar-benar lupa (suatu nash/dalil, red) sehingga suatu hukum syar’i tersembunyi
darinya, kemudian ia mengatakan sebuah pendapat, maka ia diudzur. Akan tetapi
bila ia mengetahui dalilnya, maka ia tidak diudzur (jika menyelisihi, red).”
Diringkas dari kajian Al khilaaf baina Al ‘Ulamaa’ wa Asbaabuhu wa Mauqifunaa minhu, Kitaabul ‘Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullaah dengan sedikit perubahan.