Di depan para wartawan internasional, suatu hari ia
pernah berkata tentang kesiapannya menghadapi maut.
"Kematian tetaplah kematian, meski karena dibunuh atau oleh
kanker. Sama saja. Tak ada bedanya, mati disebabkan oleh sebuah apache atau
serangan jantung. Tapi saya lebih memilih terbunuh oleh
apache."
ujar Rantisi di hari ketika ia dipilih sebagai pimpinan Hamas
menggantikan Syaikh Ahmad Yassin.
Pagi itu, sejak dini hari Rantisi sudah berdendang
dengan senang.
"Agar Allah memasukkanku ke dalam surga. Itulah keinginanku
yang paling tinggi."
Begitulah nasyid yang digubah oleh Hamas, ia
nyanyikan dengan nada riang gembira. Berulang-ulang, berulang-ulang.
Tak biasanya ia begitu. Pagi itu ia bangun dengan
wajah berseri-seri, sangat terang dan bercahaya, begitu kata sang istri
mengenang hari terakhir bersama suami dan ayah yang sangat mulia itu. Pagi itu,
saat ia keluar rumah, Rantisi mengenakan baju paling bagus yang ia punya. Hari
itu, sejak syahidnya Syaikh Ahmad Yassin, ia sudah dua bulan tak singgah di
rumah.
Hari itu, ia sudah bersiap pergi dengan baju paling
bagus yang ia miliki. Dan hari itu, anak perempuannya yang masih ingin membunuh
rindu, meminta sang ayah untuk menunda kepergiannya.
"Ayah hendak ke mana? Tinggallah lebih lama di sini. Kami
masih rindu sekali." ujar Asma pada sang ayah.
Tetapi seperti biasa, dengan lembut Rantisi
mengatakan tentang kesibukannya.
"Ayah punya kesibukan yang banyak sekali." ujarnya.
Lalu setelah itu, ia melangkah keluar rumah. Hanya
dalam hitungan menit, tak lama, bahkan belum lagi hilang aroma tubuhnya di
dalam rumah, suara ledakan terdengar sangat dahsyatnya.
"Allah..." Asma tersentak, sekaligus tahu bahwa sang ayah
yang baru melangkahi pintu rumahnya telah pergi untuk selama-lamanya.
"Ayah syahid" bisiknya dalam hati sembari melantunkan
do'a.
Padahal, belum lagi ada berita yang ia terima.
Padahal, semua orang masih sibuk terpana dan terkejut karena serangan apache
yang terbang begitu rendah. Tapi, untuk seorang anak yang sangat mencintai
ayahnya, Asma tahu, ayahnya telah sampai pada cita-cita yang sejak pagi ia
dendangkan dari bibirnya. Surga dari Yang Maha Tinggi.
Sebuah rudal menghantam mobil Abdul Aziz Rantisi hari
itu, 17 April 2004. Hari pertemuan yang telah dijanjikan oleh Tuhannya. Ketika
melihat helikopter apache milik Isr*el buatan Amerika, Abdul Aziz Rantisi
sempat berlari dari mobilnya, beberapa ratus meter jauhnya. Ia berlari bukan
karena takut pada kematian, atau gentar pada apache yang pernah ia sebutkan,
tapi ia ingat beban dan tanggung jawab yang masih demikian besar. Namun,
ledakan rudal teramat besar. Rantisi roboh, pingsan, dan kritis seketika. Ia
sempat dilarikan ke Rumah Sakit Asy Syifa, tapi janji pertemuan adalah janji
yang tak bisa diundur atau ditunda lagi. Abdul Aziz Rantisi syahid bertemu
Rabbnya.
Pemuda-pemuda di Jalur Gaza berebut menciumi
jenazahnya. Pejuang-pejuang Palestina berebut mengusap darah yang meleleh dari
bagian kepala, mereka semua berharap akan mendapat syafa'at dari asy syahid
(dengan izin Allah, red). Mereka berharap mendapat kesempatan untuk menjadi
seperti asy syahid. Pemuda-pemuda itu tak menangis, mereka justru sangat
gembira, mereka tahu satu lagi penduduk surga (In syaa’Allaah, red.) telah
bertambah.
Abdul Aziz Rantisi adalah seorang dokter spesialis
anak. Karenanya, meski namanya begitu ditakuti oleh tentara dan negara Zi*nis
Isr*el, ia adalah seorang lelaki yang lembut jiwanya. Tak ada seorang dokter
anak yang tak lembut jiwanya. Tapi, tak ada yang sekeras Rantisi ketika
memerangi musuh rakyatnya.
Ia lahir di sebuah desa di Palestina bernama Yibna,
pada Oktober 1947. Yibna adalah desa yang indah, terletak di antara Ashkelone
dan Jaffa, yang kini berada di bawah kekuasaan Isr*el. Ketika sudah dewasa,
Abdul Aziz Rantisi pernah mengunjungi rumahnya.
"Saya pernah mendatangi rumah itu, ruang keluarganya masih
ada, dan itu sangat membekas di dalam hati saya. Gambaran kota tempat kelahiran
saya, seperti yang diceritakan oleh orangtua saya menjelang tidur muncul
kembali saat melihat rumah itu. Ayah dan ibu menggendong saya di dalam
pelukannya di rumah ini, masih terbayang dengan jelas di dalam benak
saya." kenang Rantisi yang merekonstruksi ingatannya berdasarkan kisah
sang ibu.
Pada saat usianya masih enam bulan, seluruh keluarga
ayahnya, Mohammad Dahlan, dipaksa mengungsi, diusir oleh penjajah Isr*el dari
tanah kelahiran mereka. 200.000 manusia terlunta-lunta dari kotanya, di
penampungan pengungsi yang sudah penuh di Jalur Gaza. Mereka berharap bisa
kembali setelah Perang Enam Hari usai. Tapi rupanya, itulah kali terakhir
rakyat Palestina melihat rumah dan tanahnya. Mereka tak pernah kembali, dan tak
pernah bisa kembali karena Isr*el dengan kekejamannya telah menguasai.
Abdul Aziz Rantisi tumbuh dan besar di tengah kondisi
yang sangat memprihatinkan di kamp pengungsian. Bersama kedua orangtuanya,
dengan delapan saudara laki-laki serta dua saudara perempuannya, Abdul Aziz
Rantisi tinggal di tenda pengungsian selama empat tahun pertama mereka di Khan
Younis. Setelah itu, keluaranya pindah dan bermukim di sebuah gedung sekolah,
sebelum akhirnya tinggal di sebuah rumah sederhana yang dibangun oleh PBB untuk
para pengungsi.
Sejak usia enam tahun, ia sudah mulai bekerja, membantu
ayahnya memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sembari bersekolah di lembaga
pendidikan menengah yang juga dibangun oleh PBB melalui badan UNRWA. Pada tahun
1965, ia lulus sebagai siswa terbaik di sekolahnya. Pada tahun itu, pemerintah
Mesir mengeluarkan program beasiswa terutama untuk anak-anak pengungsi di Jalur
Gaza yang tidak mampu membiayai pendidikannya. Maka mendaftarlah Abdul Aziz
Rantisi di Universitas Alexandria di bidang kedokteran anak. Saat itu, di dalam
benaknya sama sekali tak ada ambisi untuk menjadi seorang politisi, apalagi
seorang pejuang yang kelak memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari penjajahan
Isr*el Raya.
Sampai suatu ketika, ia bertemu dengan seorang imam
masjid yang dulu pernah ia kenal sebagai imam masjid kecil di kamp pengungsian.
Syaikh Mahmud Eid namanya. Lewat tokoh ini, Abdul Aziz Rantisi berkenalan
dengan ide dan gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Imam Syahid Hassan
Al Banna. Melalui ide dan pemikiran Ikhwanul Muslimin, Abdul Aziz Rantisi mulai
mengenal dengan persatuan dunia Arab dan Islam yang sesungguhnya, bukan Pan
Arabisme yang dimunculkan oleh Presiden Jamal Abdul Nasser, presiden Mesir kala
itu yang berbasis ideologi komunisme.
Abdul Aziz Rantisi juga mempelajari dengan serius
gagasan dan perjuangan Sayyid Quthb yang dianggap sebagai salah satu pemikir
besar dalam organisasi Ikhwanul Muslimin. Dan dari buku Ma'alim fi ath Thariq,
atau Petunjuk Jalan, Rantisi menggarisbawahi dua pemikiran Sayyid Quthb yang
kelak menjadi ideologi gerakan yang ia yakini.
Pertama, seorang Muslim haruslah memenuhi jiwa dan
relung pikirannya dengan Islam. Di rumah, di sekolah, di rumah sakit tempatnya
bekerja, sebagai insinyur, dalam hubungan sosial, dan lain-lain. Dengan begitu,
potensi masyarakat Arab akan kembali muncul seperti yang dulu pernah
dimunculkan oleh Rasulullah. Kedua, melalui Sayyid Quthb, Abdul Aziz Rantisi
percaya bahwa seluruh ideologi dunia yang ada saat ini sudah mengalami
kegagalan yang sempurna. Komunis telah gagal. Nasionalis pun juga gagal.
Apalagi sekularisme, gagal total. Dunia sedang mengalami kekosongan ideologi
sekarang. Dan di masa yang sangat kritis ini, seharusnya Islam muncul sebagai
solusi. Sudah saatnya umat Islam memainkan peranan vital dan signifikan. Sudah
saatnya bagi Islam.
Dengan berbekal pemahaman seperti itu, terjadi
pematangan dalam jiwa seorang Abdul Aziz Rantisi. Pada tahun 1972, ia lulus
dari studinya di bidang spesialis anak. Dan pada tahun 1973, ia mendirikan Gaza
Islamic Center. Betapa besar loncatan yang dibuat oleh Rantisi. Dari seorang
mahasiswa yang tak punya ambisi apapun, kecuali karir akademik, menjadi seorang
yang dengan semangat mendirikan sebuah lembaga yang kelak akan digunakannya
sebagai sarana melawan penjajah.
Pada periode tertentu, seluruh pimpinan Ikhwanul
Muslimin di Jalur Gaza ditangkap oleh tentara Isr*el Raya, termasuk Syaikh
Yassin yang diganjar penjara 13 tahun lamanya. Di tengah kekosongan inilah,
kader muda yang bernama Abdul Aziz Rantisi muncul ke muka. Ia memulai
gerakannya dari kampus. Memenangkan kepemimpinan kampus, dengan mengantongi
suara 80% melawan kandidat yang didukung oleh PLO.
Bersama enam tokoh lain, Rantisi membentuk Hamas.
Ketujuh tokoh ini adalah Syaikh Ahmad Yassin, Abdul Aziz Rantisi, Abdul Fattah
Dukhan, Mohammad Shamma', Dr Ibrahim Al Yasour, Issa Al Najjar, dan Shalah
Shahadah. Pada tahun 1988, Abdul Aziz Rantisi ditangkap dan ditahan oleh
tentara Zi*nis Isr*el dengan tuduhan mendukung gerakan Intifada. Abdul Aziz
Rantisi divonis 2,5 tahun penjara dan tentu saja bukan penjara yang ringan jika
berada di bawah kekuasaan Zi*nis Isr*el. Berbagai penyiksaan dan dera, tentu
saja membarengi selama penahanan dirinya.
Di mata istri dan anak-anaknya, Abdul Aziz Rantisi
adalah seorang pria yang lembut dan penuh kasih sayang pada keluarganya. Ia
memiliki empat orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Semuanya
mengenang Rantisi dengan catatan tinta emas sebagai seorang ayah dan pejuang
yang sungguh-sungguh menegakkan Islam.
Asma, anak perempuan Rantisi yang terkecil, suatu
hari bertutur tentang puisi yang ditulis ayahnya di dalam penjara tentang
dirinya. Saat ia mengunjungi sang ayah, dari balik terali besi sang ayah
menyodorkan tulisan berisi puisi:
seperti cahaya
di waktu dhuha
yang menyala-nyala
tersenyum menghiasi langitNya
Begitu pujian Rantisi pada anak perempuannya. Pada
Asma, Rantisi mengatakan bahwa ia adalah anak yang paling dicintainya. Dengan
bangga Asma pulang ke rumah dan mengabarkan rasa cinta sang ayah pada dirinya.
Tapi rupanya, Rantisi juga berkata pada setiap anaknya bahwa mereka adalah anak
yang paling ia cintai. Asma pun akhirnya bertukar senyum pada
saudara-saudaranya, merasa beruntung memiliki ayah seperti ayah mereka.
Bagi Rasya, istri Rantisi, ia adalah suami ideal yang
kelak diharapkan syafa'atnya (dengan izin Allah, red.) di surga.
"Selama kami bersama, 30 tahun, saya bersaksi bahwa akhlaknya
benar-benar menyontoh Rasulullah." kenang sang istri.
Di hari pemakaman, sang istri, Rasya berucap dengan
sangat syahdu tentang suami tercinta.
"Demi Allah, ini adalah hari yang paling membanggakan. Saya
berdiri di sini, di pagi yang cerah ini pada pemakaman suami saya yang mulia
yang telah disambut 72 bidadari hurun 'iin yang jelita. Ya Allah, berikan
padanya bidadari. Ya Allah, berikan kemenanganMu pada Hamas setelah musibah
hari ini. Gantilah musibah yang terjadi hari ini dengan anugerah yang indah di
esok hari. Saya ingin sekali mati syahid, sepertinya, seperti suami saya yang
tercinta. Tapi Allah menetapkan ajal kami di waktu yang berbeda. Ya Allah,
pertemukan kami, anak dan istrinya, cucu dan keluarganya dengan lelaki yang
kami cinta, Abdul Aziz Rantisi yang mulia."
Maka, berakhirlah kisah hidup sang pahlawan itu. Di
mata manusia, tubuhnya memang terluka. Namun di depan Allah, ia memancarkan
sinar seterang-terangnya. Semoga Allah merahmatinya dan merahmati semua orang
yang berjuang di jalanNya.
Sumber:
Buku Perjalanan Meminang Bidadari yang dicantumkan di buku
Membongkar Rencana Isr*el Raya karya Herry Nurdi
0 comments :
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.