Home » , » Pedoman Pemikiran Salafush Shalih

Pedoman Pemikiran Salafush Shalih




A. Manhaj Talaqqi Salafush Shalih 

§  Masdar Talaqqi: Sumber Pengambilan Ilmu adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’
Ibnu Taimiyah berkata :

“Dien kaum Muslimin dibangun atas dasar: Mengikuti Kitabullah, Sunnah RasulNya dan Kesepakatan Ummat (Ijma’). Ini adalah tiga pokok/landasan yang maksum.” [1]


Beliau juga berkata:

“Ciri Ahlul Furqoh adalah menyelesihi Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’. Maka barang siapa yang berprinsip dengan Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’ adalah termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.” [2]


§  Menafsirkan Al-Qur’an dengan yang Ma’tsur
Yaitu penafsiran yang berdasarkan manqul (pengambilan) shahih, dengan urut-urutan;
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan As-Sunnah karena Sunnah sebagai penjelas dari Kitabullah lalu dengan riwayat dari para Sahabat, karena mereka adalah generasi yang paling tahu tentang Kitabullah. Lalu dengan perkataan kibarut- Tabi’in karena kebanyakan dari mereka mendapatkan tafsir tersebut dari Sahabat.[3]


§  Hadits yang Shahih Merupakan Hujjah Syar’iyyah dalam Beramal Menurut Ijma’ [4]
Salaf tidak membedakan antara hadits Mutawatir maupun Ahad sebagai hujjah baik dalam masalah Aqidah atau Ahkam.[5]
Mereka tidak mengotak-atik dengan ra’yu dalam memahami suatu hadits agar sesuai dengan seleranya. [6]


§  Kedudukan Aqwal Sahabat
Amal dan qoul Sahabat adalah hujjah bagi para Tabi'in, juga menjadi hujjah bagi generasi sesudah tabi'in… Kecuali beberapa kelompok di antaranya: Syiah Al-Imamiyah, Khowarij dan Dhohiriyah... Ijma' mereka merupakan hujjah menurut Ijma’ Ahlus-Sunnah. Sedangkan bila Sahabat berikhtilaf, maka para Tabi'in tidak keluar dari perkataan para Sahabat.[7] 


§  Qiyas Shahih Merupakan Hujjah Muktabar dalam Masalah Ahkam
 Ibnu Abdil Barr berkata:

“Tidak ada ikhtilaf di kalangan fuqoha’ dan seluruh Ahlus-Sunnah, Ahlul-Fiqh dan Ahlul-Hadits dalam menolak qiyas pada masalah Tauhid, dan menerima dalam masalah Ahkam kecuali Dawud Al-Asbahany (Dhohiriyah).” [8]


§  Nash yang Shahih Tidak Bertentangan dengan Akal Sehat
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mendahulukan nash yang shahih di atas akal. Jika nash dan akal bertentangan, hanya ada dua kemungkinan: nashnya yang tidak shahih atau akalnya yang rusak. Karena nash yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat. [9]


§  Tidak Mewajibkan Taqlid Bagi Setiap Orang
Tidak mewajibkan ijtihad dan mengharamkan taqlid bagi setiap orang. Juga tidak mewajibkan taqlid dan melarang ijtihad bagi setiap orang. Ijtihad diberlakukan bagi yang mampu, dan taqlid diberlakukan bagi yang tidak mampu.[10]



B. Prinsip-Prinsip Salaf

§  Rukun Islam dan Iman
Salaf ber i’tiqad bahwa rukun Islam itu ada lima dan Rukun Iman itu ada enam sesuai dengan nash qath’y dan Ijma’ Ummat.


§  Mengitsbatkan Asma’ dan Sifat
Sesungguhnya Ashabul Hadits yang berpegang teguh kepada Kitab dan Sunnah menyaksikan keesaan Allah. Mereka berma'rifah kepadaNya melalui sifat-sifatNya yang Dia wahyukan atau yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengitsbatkan seluruh sifat  yang  tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadits yang Shahih seperti sifat pengdengaran, penglihatan, mata, wajah, ilmu, kekuatan, qudroh, 'izzah, keagungan, murka, kehidupan, dan lain sebagainya dengan tidak menganggapnya serupa dengan sifat-sifat makhluq. Mereka berhenti pada dhohir yang difirmankan oleh Allah ta'ala dan yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa-sallam tanpa menambahkan, tidak menanyakan kaifiyahnya, tidak mentasybihkan, tidak menyelewengkan, tidak mengganti lafaldz yang dipahami oleh bangsa Arab dengan takwil yang mungkar. [11]


§  Berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah
Abu Ja’far at-Thahawy berkata:

“Bahwasannya Al-Qur’an adalah Kalamullah, ia datang dariNya tanpa kaifiyah dalam (hal) bagaimana dikatakanNya, ia diturunkan kepada RasulNya sebagai wahyu. Orang-orang beriman membenarkannya dengan haq dan meyakininya bahwa ia adalah benar-benar Kalamullah Ta’ala, bukan makhluk seperti perkataan manusia. Maka barang siapa yang mendengarkannya, lalu menganggap bahwa ia perkataan manusia, maka ia telah kafir.” [12]


§  Iman Itu Mencakup Perkataan dan Perbuatan dan Bahwa Iman Itu Bisa Bertambah dan Berkurang
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Dan termasuk prinsip Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, bahwa dien dan Iman itu mencakup perkataan dan perbuatan: perkataan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Juga bahwa Iman itu bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kemaksiatan.” [13]

Imam Bukhari berkata :

“Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu Ulama’ di berbagai negeri, tidak aku dapatkan seorangpun dari mereka kecuali menyatakan bahwa iman itu mencakup perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.” [14]


§  Tidak Ada yang Maksum kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa-sallam 
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah menyatakan tidak ada yang maksum dalam pandangan mereka selain  Rasulullah shallallah ‘alaihi wa-sallam. Menurut mereka para Ulama’ tidaklah maksum. Akan tetapi semua orang diambil dan ditinggalkan perkataannya kecuali Rasulullah shallallah ‘alaihi wa-sallam.[15]


§  Menghormati Sahabat
Sikap Salaf terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan Sahabat adalah diam dan mensucikan lisan mereka dari menyebut hal-hal yang bermuatan aib bagi mereka.[16]
Dan bahwa masing-masing mereka adalah mujtahid. Jika benar mendapatkan dua pahala dan jika salah mendapatkan satu pahala.[17]
Dan mereka mengasihi semuanya dan memberikan loyalitas pada mereka. (as-Salaf ash-Shalih) menghormati dan mendo’akan istri-istri Nabi dan menyatakan bahwa mereka adalah Ummahatul Mukminin. [18]


§  Prinsip dalam al-Wala’ wal-Bara’
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mendasarkan al-Wala’ dan al-Bara’ kepada al-Haq semata, yaitu kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa-sallam. Bukan atas dasar suku (etnis), daerah, madzhab, syaikh, atau kelompok tertentu. Mereka menilai pribadi, kelompok ataupun perkumpulan dengan berdasarkan asas ini. [19]

Barang siapa beriman wajib diberikan wala’ secara penuh dari golongan manpun ia... .
Dan orang kafir, wajib diterapkan permusuhan secara penuh, dari golongan manapun ia.
Adapun orang yang dalam dirinya terdapat keimanan dan kefajiran diberikan Wala’ sebatas keimanannya dan diberikan permusuhan sebatas kefajirannya. [20]


§  Amar Makruf Nahi Munkar
Ahlus-Sunnah adalah Ahlu Amar Makruf dan Nahi Munkar dengan tetap menjaga Al-Jama’ah. Ini adalah pilar utama dan kaidah yang agung yang menjadikan mereka Khairu Ummah yang dikeluarkan bagi manusia. Mereka menegakkan urusan ini sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i. Di saat bersamaan mereka tidak keluar dari pokok dan kaidah besar lainnya yaitu tetap menjaga keutuhan Jama’ah, menyatukan hati, kesatuan kalimat dan menjauhi perpecahan dan ikhtilaf. [21]


§  Ketaatan kepada Amir
Wajib mendengar dan ta’at kepada para Imam dan Amirul Mukminin yang adil maupun yang fajir. Tidak keluar (khuruj) darinya selama tidak memerintahkan kemaksiatan.[22]

Telah terdapat dalam nash-nash Al Kitab, As-Sunnah dan Ijma’ Salaful Ummah bahwa Waliyyul Amri, Imam Shalat, Hakim, Amir Pasukan, Amil Zakat, mereka ditaati dalam masalah-masalah Ijtihady. Bukannya ia yang mena’ati pengikutnya dalam masalah ijtihad tersebut, akan tetapi merekalah yang menta’atinya, dengan meninggalkan pendapat-pendapat mereka demi pendapatnya (Amir). Karena maslahat Jama’ah dan persatuan, Mafsadah Firqoh dan Ikhtilaf, adalah urusan yang lebih besar dari pada masalah parsial yang sepele. [23]


§  Jihad dan Shalat di Belakang Imam Fajir
Salaf beri’tiqad bahwa jihad dan haji di belakang Imam yang baik ataupun yang fajir terus berlangsung sampai hari Kiamat. [24]
Dan telah menjadi prinsip Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah bahwa jihad tetap dilaksanakan bersama penguasa yang baik maupun yang fajir. Karena sesungguhnya Allah memperkokoh dien ini dengan seseorang yang fajir dan dengan kaum yang tidak berakhlak. [25]


§  Memerangi Orang yang Menolak Syari’at Islam
Ibnu Taimiyah berkata:

“Telah menjadi ketetapan dalam Kitab dan Sunnah serta Ijma’ Ummat bahwasannya siapa saja yang keluar dari Syari’at Islam wajib diperangi walaupun dia mengucapkan syahadat.” [26]

Beliau berkata:

“Dan wajib mendahului untuk memerangi mereka setelah sampai dakwah Nabi shallallaahu ‘alaihi wassalam kepada mereka atas ketetapan ini. Sedang apabila mereka mendahului menyerang kaum muslimin, maka kewajiban memerangi mereka bertambah kuat.” [27]


§  Tidak Menggampangkan Takfir
Berbeda dengan Murji'ah, Khawarij dan Mu'tazilah, Salaf tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah  kafir, selama ia tidak menghalalkannya. Mereka juga tidak mengatakan bahwa  perbuatan maksiat tidak membahayakan iman. Salaf juga berpendapat jika orang-orang yang berbuat dosa besar mati dalam keadaan beriman, mereka tidak kekal di Neraka. [28]


§  Tidak Meninggalkan Sholat di Belakang Ahlul Qiblah
Ahlussunnah wal Jama’ah tetap melaksanakan shalat di belakang imam yang baik ataupun yang fajir dari kalangan Ahli Kiblat. Demikian juga dengan menshalati janazahnya. [29]


§  Sikap terhadap Ahlul Bid’ah
Kewajiban Ahlus-Sunnah terhadap Ahlul Bid’ah adalah menjelaskan keadaan mereka, mengingatkan ummat akan bahayanya, menyiarkan Sunnah dan menerangkannya kepada kaum muslimin, kemudian mengenyahkan kebid’ahan serta mencegah kezhaliman dan permusuhan mereka (Ahlul-Bid’ah). Semua itu dimanifestasikan dengan tetap berpijak pada keadilan serta berdasarkan Kitab dan Sunnah. [30]

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah di dalam menyikapi Ahlul Bid’ah yang menyembunyikan kebid’ahannya, tidaklah sama dengan sikap mereka terhadap Ahlul Bid’ah yang menyiarkan atau menyerukan kebid’ahannya. Seorang yang menyiarkan atau menyerukan kebid’ahan, bahayanya merembet kepada orang lain. Karena itu wajib dicegah, diingkari dan pelakunya diberi pelajaran (iqob) baik berupa isolasi atau yang lain sampai ia jera (meninggalkannya). Adapun yang menyembunyikan kebid’ahan maka diingatkan secara sembunyi-sembunyi dan dirahasiakan. [31]

Semua sikap yang diambil oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah ini tidaklah menghalangi mereka dari mendo’akan Ahli Bid’ah agar mendapatkan hidayah, rahmat atau ampunan selama belum diketahui kemunafikan dan kekafiran bathin mereka.[32]


§  Tawassuth dan I’tidal
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah adalah Ahlu Tawassuth dan I’tidal. Di antara Ifrath (terlalu berlebihan) dan Tafrith (melalaikan), dan di antara sikap Ghuluw (berlebihan) dan sikap Jufa` (melalaikan). Mereka berada di tengah (jika disejajarkan dengan) firqah-firqah Ummat. Sebagaimana Ummat berada di tengah (jika disejajarkan dengan) millah-millah yang lain. [33]

(Dalam masalah sifat Allah) mereka berada di antara Ahlut-Ta’thil, Jahmiyah dan Ahlut-Tamtsil, Musyabbihah.
(Dalam masalah Af’al Allah) mereka berada di antara Qodariyah dan Jabariyah.
Demikian pula (dalam masalah ancaman Allah), mereka berada di antara Murji’ah dan Wa’idiyah, Qodariyah dan yang selain mereka.
Adapun (dalam masalah Iman dan Dien) mereka berada di antara Haruriyah (Khawarij) dan Mu’tazilah, dan di antara Murji’ah dan Jahmiyah.
Adapun dalam (mensikapi para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa-sallam) mereka berada di antara Rafidlah dan Khawarij. [34]



والله أعلم بالصواب


Footnote:

[1] Majmu’ Fatawa XX/164

[2] Ibid. III/245  

[3] Mabahits fii Ulumil Qur’an/347

Adapun Tafsir bir-Ro’yi ada dua; Tafsir bir-Ro’yi yang dilarang (madzmum) yaitu tafsir yang berdasarkan pemikiran semata, hawa nafsu dan tidak memiliki asal. sedangkan tafsir bir-Ro’yi yang diperbolehkan (mahmud) yaitu tafsir yang tidak berdasarkan hawa dan pemikiran semata dan telah melalui penelitian dengan sangat hati-hati serta ditopang dengan perangkat Ilmu Bahasa Arab dan Ilmu Tafsir yang memadai seperti: Nasikh Mansukh, 'Amm Khosh, Mutlaq Muqoyyad dan seterusnya.
(lihat lampiran no. A.2 dan Mabahits fie Ulumil Qur’an. bab Syurut dan Adab Mufassir. 329-332)

[4] Lihat : Taisir Mustalah Hadits. Mahmud Tohhan. 35

[5] Ushulul I’tiqod. Dr. Sulaiman al-Asyqor. 11

[6] Ringkasan dari perkataan Jabir bin Abdillah, lihat Aqidah Salaf Ashabul Hadits. Ash-Shobuny. 52

[7] Tariikhul Madzahib, Abu Zahroh, Darul Fikr al Aroby, 263

[8] Sedangkan hadits :

تفترق أمتي على بضع و سبعين فرقة أعظمها على أمتي فتنة قوم يقيسون الدين برأيهم يحرمون ماأحلّ الله ويحلّون ما حرم الله...

“Ummatku akan berpecah belah menjadi 70-an dan kelompok yang paling besar adalah kaum yang menggunakan qiyas  dengan ro'yu di dalam dien, mengharamkan yang Allah halalkan dan menghalalkan yang Alloh haramkkan.“

Ibnu Abdil Barr berkata:

“Maksudnya, penggunaan qiyas yang tidak memilik pokok (dari Qur’an dan Sunnah) atau berbicara dalam Dien hanya dengan pemikiran dan perkiraan semata... Barang siapa yang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya lalu menjawab dengan tanpa ilmu dan  mengqiyaskan dengan ro’yunnya yang keluar dari sunnah, maka inila penggunaan qiyas yang sesat dan menyesatkan. Sedangkan yang mengembalikan furu’ (cabang) kepada ushul (pokok), maka tidak termasuk penggunaan ro’yu (yang tercela).”
(Jami’u Bayanil Ilmi Wa fadlihi II/ 75-77 dan  I’lamul muwaqqi’in, 1/ 35.)

Imam Syafi’i berkata:

“Tidak dibenarkan bagi seseorang menggunakan qiyas kecuali setelah mengetahui nash-nash pendahulu, aqwal salaf, Ijma’ Ummat dan ikhtilaf mereka dalam memahami bahasa Arab.”
(Ar-Risalah, No. 1471)


[9]  Ringkasan. Lihat Tahdzib Syarh Aqidah Thahawiyah. 392, Tsawabit wal-Mutaghoyyirot. hal 50  

[10] Lihat  Majmu’ fatawa : XX/203-204.

[11] Aqidah As-Salaf Ashabul Hadits, Abu Isma’il Abdurrahman bin Isma’il as-Shabuny 3-6  

[12] Al-Aqidah at-Thahawiyah matan no. 33

[13] Fatawa III/151

[14] Fathul Bary I/47

[15] Ma’allim Inthilaqoh al-Kubro. Abdul Hady al-Mishry 72

[16] Aqidah Salaf Ashabul Hadits. 93

[17] Ma’arijul Qobul. 599-600

[18] Aqidah Salaf Ashabul Hadits 93.

[19] Ma’alimul Inthilaqoh al-Kubra 91, Madaa Syar’iyyatul Intima’. Dr. Sholah ash-Showy. 239.

[20] Majmu’ Fatawa XXVIII/228-229

[21] Ma’alim. Abdul Hady al-Misry 88- 89

[22]  Dari perkataan Imam Ahmad. Syarh Ushul  I’tiqod Ahlis Sunnah. Imam Alal-Ka’i. I/160, dan perkataan Imam ath-Thahawy dalam matan Aqidah Thohawiyah. no. 72.

[23] Syarh Aqidah Thahawiyah 376

[24] Syarh Aqidah Thahawiyah. 387.

[25] Majmu’ Fatawa, XXVIII/506.

[26] Majmu’ Fatawa. XXVIII/357

[27] Ibid. XVIII/358.

[28] Lihat Syarh Aqidah Thohawiyah, Ibnu Abil 'Izz, matan No. 68 dan syarahnya, serta Ma’arijul Qobul, Syeikh Hafizh bin Ahmad. II/288

[29] Syarh Aqidah Thahawiyah, 373.

[30] Ma’alimul Inthilaqoh al-Kubra ‘Inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah. Abdul Hadi al-Misry. 161

[31] Ibid/167

[32] Ibid 173

[33] Ma’alim. 78

[34] Majmu’ Fatawa III/141


Sumber: Serial Kajian Gema Salam Bandung

0 comments :

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. The Last Smile - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger