“Hanya satu yang menghalangi seorang Muslim berjihad di
jalan Allah: sifat pengecut !”
Saat menulis bagian ini, hati saya sungguh seperti
dihantam-hantam palu cemburu. Saya begitu iri setelah mengetahui lebih jauh
sosok kita yang satu ini. Batapa tidak, cintanya pada jihad telah membuatnya
seperti memburu kematian, di saat manusia lainnya justru ketakutan. Di mana
bumi Allah bergolak, ia selalu menyematkan namanya sebagai salah satu pejuang.
Sungguh, bagaimana tidak iri. Ia telah matang dalam
medan perjuangan. Dihibahkannya seluruh hidupnya demi memperjuangkan ummat
Islam di tanah-tanah yang penuh kezhaliman. Dan saat ia terjun ke medan jihad
pertamanya, usianya belum genap 17 tahun. Saat teman-teman seumurnya masih
terlena dengan keindahan dunia, ia sudah tahu betul bahwa syahid adalah jalan
paling indah menuju surgaNya.
Ibnul Khattab adalah julukannya di
medan perang. Nama sesungguhnya adalah
Samir Saleh Abdullah Al Suwailim.
Putra jazirah Arab yang datang dari keluarga mulia. Saat itu, kala usianya
beranjak dari masa yang lazim disebut remaja, ia tengah mempersiapkan perjalanannya
menuju Amerika Serikat. Namanya telah terdaftar di salah satu sekolah di negeri
yang kelak menjadi musuh utamanya tersebut.
Namun tahun-tahun itu, panggilan jihad dari
Afghanistan terdengan bertalu-talu. Asy Syahid (kama nahsabuhu, red) Syaikh
Abdullah Azzam menyeru pemuda-pemuda Islam di manapun untuk datang dan
menyumbangkan tenaga, darah, bahkan nyawa bagi tanah Afghanistan yang dijajah
Uni Soviet. Pada awalnya, Ibnul Khattab hanya berniat melawat dalam hitungan
sekejap ke bumi jihad itu, tapi rupanya, lawatannya itu ternyata adalah lawatan
sepanjang hidup. Lawatan yang membuatnya terpisah dari orang tua dan keluarga.
Jiwanya begitu terbakar oleh api jihad. Saat tiba di
Afghanistan, ia hanya seorang anak kecil yang mentah, tapi kesaksian mujahidin
menyebutkan di matanya nampak api yang menyala-nyala. Kamp-kamp jihad
Afghanistan kala itu setiap harinya selalu penuh dengan orang-orang yang
berbeda-beda. Satu kelompok datang, satu kelompok pergi ke garis depan. Satu
kelompok untuk persiapan dan latihan. Satu kelompok lagi memikul senjata maju
menghadang.
Saat tiba di Afghanistan, ia hanya seorang anak kecil yang mentah,
tapi kesaksian mujahidin menyebutkan di matanya nampak api yang menyala-nyala.
Setiap kelompok yang baru datang, wajib mengikuti
latihan, persiapan, dan pembekalan. Tidak saja secara fisik, tapi terlebih lagi
secara ruhiyah. Para mujahid harus matang, luar dan dalam, sebelum ia bertempur
ke medan perang. Itulah yang dilakukan orang-orang yang hendak berjuang di
Afghanistan. Tak terkecuali Ibnul Khattab muda.
Ia harus melewati fase yang sama. Namun, rupanya tak
sabar hati Khattab muda untuk berjuang. Berkali-kali ia merayu
komandan-komandan kamp latihan agar mendaftarkan namanya maju ke garis depan.
Semua orang tersenyum, anak semuda ini, kumis pun belum tumbuh. Maka Ibnul
Khattab pun harus bersabar menyelesaikan masa persiapan diri walaupun jiwanya
meronta-ronta untuk berlari paling depan membela agama Islam.
Hanya dalam hitungan tahun, Ibnul Khattab menjadi
seorang mujahid yang namanya begitu masyhur di kalangan mujahidin lainnya.
Namanya tercantum dalam semua operasi utama mujahidin Afghanistan melawan
tentara komunis Uni Soviet. Musuh yang dihadapinya, mulai dari tentara biasa,
sampai pasukan komando khusus dengan persenjataan lengkap.
Ia tak takut mati. Tak kenal jeri, bahkan nyaris tak
punya rasa sakit dan letih. Suatu ketika, tubuhnya tertembus peluru berdiameter
12,7 milimeter. Biasanya, peluru ini digunakan untuk menghadapi kendaraan lapis
baja, tapi dengan izin Allah, Ibnul Khattab bertahan dengan rasa sakit yang tak
dihiraukannya. Suatu hari ia memasuki tenda dalam keadaan terluka. Wajahnya
pucat, dan seluruh teman-teman yang melihatnya merasa khawatir dan bertanya,
“Apakah engkau cedera ?”
Ibnul Khattab hanya menjawab ringan,
“Biasa, luka ringan. Tak perlu dikhawatirkan.”
Meski didesak, ia hanya mengatakan luka di perutnya
hanya luka yang tak serius untuk jihad yang besar ini. Kawan-kawannya pun
memaksa memeriksa luka yang diderita Ibnul Khattab. Rupanya, ia mengalami
pendarahan hebat dan harus segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sepanjang
perjalanan, di dalam mobil, ia selalu berusaha meyakinkan teman-temannya,
“Ini hanya luka ringan, tak serius. Esok hari juga sudah tak terasa
lagi.”
Ia berkali-kali meminta, agar tak dijauhkan dari
medan jihad yang mulia. Begitulah keteguhan dan ketegaran seorang Ibnul
Khattab, putra jazirah Arab yang memuliakan perjuangan agamanya.
Hari terus berganti. Tahun pun berlalu. Karena
Afghanistan, para mujahidin, dan tentu saja dengan izin Allah, keruntuhan Uni
Soviet bermula. Negara adidaya itu beringsut mundur teratur dari bumi jihad
Afghanistan. Tetapi berhenti dari Afghanistan, ternyata bukan berarti Uni
Soviet berhenti menjajah. Mereka menyerang dan mencaplok negeri Islam lainnya,
Tajikistan di Asia Selatan. Mendengar berita ini, seolah ringan saja kakinya
melangkah, Ibnul Khattab mengumpulkan beberapa orang temannya, membawa perbekalan
seadanya dan terus berjalan memburu syahid di Tajikistan.
Ia menyiapkan perjalanannya ke Tajikistan; membeli
senjata, alat komunikasi, dan juga kendaraan. Setelah semua terkumpul, bukan
hal mudah untuk menuju Tajikistan. Ibnul Khattab menulis dalam buku hariannya
bahwa menyeberangi sungai Jeihun adalah perjuangan tersendiri. Di Tajikistan
pada awalnya Ibnul Khattab melatih pemuda-pemuda dan para mujahidin pemula
sebanyak 100 sampai 120 orang. Lambat laun di bawah bimbingannya, jumlah
mujahidin terus bertambah.
Tak lama setelah perang Tajikistan, Uni Soviet
benar-benar runtuh. Dan sebagai gantinya, tumbuhlah Rusia sebagai penjajah
baru. Runtuhnya Uni Soviet membuat negara-negara yang dulu berada di bawah
kekuasaannya memutuskan untuk berjuang dan meraih kemerdekaannya sendiri. Satu
di antara negeri-negeri itu adalah Chechnya. Pada awalnya tak banyak orang yang
mengetahui bahwa negeri yang sedang berjuang melepaskan diri dari Rusia itu
adalah negeri Islam. Suatu hari, tanpa sengaja Ibnul Khattab menyaksikan lewat
televisi satelit dari Afghanistan, orang-orang Chechnya yang sedang bertempur
melawan tentara Rusia. Satu di antara mereka yang berperang, dilihatnya memakai
ikat kepala dengan tulisan Laa ilaaha ilallaah. Tanpa
pikir panjang, Ibnul Khattab lalu mengangkat senjata dan mencari jalan untuk
berjuang bersama-sama mujahidin Chechnya.
Tahun 1995, adalah tahun pertama kali ia menginjakkan
kaki di bumi jihad Chechnya. Ia selalu mencintai di mana pun tanah jihad dipijaknya.
Ia tak pernah membedakan suku, warna kulit, atau bentuk dan cirri fisik. Di
manapun, setiap ia mendengar nasib kaum Muslimin, hatinya selau tergerak untuk
membela. Bersama beberapa orang yang sejak dari Afghanistan setia menyertainya,
ia terjuan secara mendalam pada jihad Chechnya.
Ketika memasuki wilayah Chechnya, ia mendapati
pemandangan yang sangat memukau hatinya. Ia menemui anak-anak muda yang
berjuang tak pernah lupa dan lalai menegakkan shalat dan menajga ibadah-ibadah
baik yang wajib maupun yang sunnah.
“Kami masuk ke Chechnya dan menemui anak-anak muda yang menjaga
shalat mereka. Mereka berkomitmen untuk berjihad di jalan Allah. Saya
dibuat terheran-heran, demi Allah saya sampai menangis menyaksikannya." tutur Khattab mengenang perjalanan awalnya dalam jihad Chechnya.
Hanya dalam satu tahun, namanya sudah masuk menjadi
target utama yang harus didapatkan oleh Rusia. Pasalnya, pada tahun 1996,
tepatnya 16 April, Ibnul Khattab dan kelompoknya melakukan operasi gerilya yang
disebut sebagai Operasi Shatoi. Dalam operasi ini, Ibnul Khattab dan pasukannya
menyergap konvoi kendaraan tentara Rusia yang berjumlah tak kurang dari 50
kendaraan berat dari perjalanan setelah menghancurkan sebuah perkampungan
Muslim. Seluruh kendaraan tersebut berhasil dimusnahkan oleh Ibnul Khattab dan
pasukannya.
Dalam serangan ini, Rusia kehilangan 223 pasukannya
termasuk 26 perwira tinggi yang memimpin konvoi. Boris Yeltsin yang kala itu
memimpin Rusia marah besar dan memecat dua orang jenderalnya yang dianggap tidak
becus. Setelah itu, Boris Yeltsin pun mengumumkan oparasi militer untuk wilayah
Chechnya di depan anggota parlemennya. Sejak saat itu pula Ibnul Khattab
menjalani persahabatan dengan Syamil Basayev, salah seorang tokoh pejuang
Chechnya yang sangat legendaris di mata para mujahidin di wilayah pegunungan
Kaukakus.
Ketika kondisi di Chechnya agak mereda dan mulai
dibentuk pemerintahan independen, saat itu Syamil Basayev mencalonkan diri
sebagai presiden dan pemerintahan baru Chechnya menganugrahinya sebuah bintang
penghargaan sebgai salah satu pahlawan Chechnya. Bahkan ia diangkat sebagai
salah satu jenderal tertingggi di dalam struktur militer Chechnya.
Pada periode inilah, ketika Chechnya sedikit damai
sehingga tekanan Rusia mulai mereda, Ibnul Khattab melangsungkan pernikahan
dengan Muslimah setempat. Tak hanya Khattab, tapi juga mujahidin-mujahidin
lainnya melakukan hal yang sama, melengkapi setengah dari urusan agama mereka.
Fenomena ini menandakan bahwa hati Ibnul Khattab telah jatuh cinta pada jihad,
dan ia juga sangat mencintai Chechnya, tanah kaum Muslimin yang diperkosa oleh
Rusia.
Suatu ketika, ia pernah menjumpai seorang nenek yang
sudah sangat renta. Nenek tersebut mendatangi kamp-kamp pelatihan mujahidin dan
menemui Ibnul Khattab. Kepada Ibnul Khattab sang nenek berkata,
“Saya hidup sudah sangat lama. Saya ingin hidup tenang, terlepas
dari Rusia, bisa menjalankan dan menegakkan hukum-hukumNya. Kami tak ingin
hidup dijajah Rusia.”
“Lalu apa yang bisa nenek sumbangkan untuk mujahidin yang sedang
memperjuangkan cita-cita itu ?” tanya Ibnul Khattab.
“Aku tak memiliki apapun untuk disumbangkan kepada para pejuang.
Aku hanya memiliki jaket yang aku pakai ini, dan akan aku berikan kepada
mujahidin yang berjuang di jalan Allah.”
Lalu sang nenek melepaskan jaket dan mengulurkannya
pada Ibnul Khattab.
Lelaki kekar berambut ikal itu pun terisak menangis
karena terharu. Dan sejak saat itu, ia berjanji tak akan meninggalkan para
mujahidin Chechnya berjuang sendirian tanpanya. Karenanya, para mujahidin
Chechnya menjulukinya Khalid bin Walid abad ini.
Hanya saja, kondisi aman dan damai di Chechnya tak
bertahan lama. Campur tangan dan usaha untuk mencaplok Chechnya kembali
dilakukan oleh Rusia saat Aslan Maskhadov memimpin negara yang masih sangat
muda tersebut.
Sejak awal Ibnul Khattab percaya bahwa kekuatan media
memainkan peranan penting dalam setiap peperangan. Ia bisa mempengaruhi musuh
dan juga bisa membangkitkan semangat kawan. Berbekal pengalamannya di berbagai
medan jihad, Khattab mempelopori pendokumentasian semua serangan militer di
Chechnya. Hal tersebut adalah salah satu jasa Khattab yang sangat besar bagi
perjuangan Muslim Chechnya yang akhirnya memberi inspirasi dan membangkitkan
kekuatan orang-orang yang berjihad di jalanNya.
Tak hanya untuk kepentingan strategi dan perjuangan,
film-film dan gambar yang ia abadikan juga dikirimnya pada keluarga nun jauh di
Arab Saudi untuk mengobati rindu. Ayahnya yang melihat video-video kiriman
anaknya, merasa begitu kagum sekaligus gembira. Dan dengan bangganya sang ayah
berkata,
“Dia bodoh jika ingin pulang !”
Berbeda dengan sang ayah, ibunda tercinta setiap kali
Ibnul Khattab menelpon selalu meminta untuk pulang dan kembali ke rumah.
“Rasa cinta kepada keluarga adalah penghalang paling besar untuk
orang-orang yang akan berangkat berjihad. Meski saya sudah tak pulang selama 12
tahun, setiap kali menelepon ibu, ibu selalu meminta saya untuk kembali pulang.
Kalau saya pulang, siapa yang akan membantu perjuangan orang-orang ini, siapa
yang akan meneruskan perjuangan kaum Muslimin ?!” ujarnya dengan
ketetapan hati.
Dalam sebuah kalimat yang sangat tegas dan indah,
Ibnul Khattab mengatakan tentang orang-orang yang takut berjihad di jalan
Allah.
“Hanya satu yang menghalangi seorang Muslim berjihad di jalan
Allah: sifat pengecut !”
Tak salah yang ia katakan, hanya orang-orang pengecut
saja yang mengingkari kemuliaan jihad. Cita-citanya, selain syahid, ternyata
tak muluk-muluk. Ibnul Khattab ingin terus berjuang menentang Rusia sampai
tentara-tentara Beruang Merah itu mengangkat kaki dari tanah negeri-negeri kaum
Muslimin.
“Kita mengenal Rusia dan tahu taktik mereka. Kita tahu kelemahan
dan mental mereka. Karena itu, lebih mudah bagi kita untuk mengalahkan mereka,
“ ujar Ibnul Khattab suatu ketika.
Lelaki ini kehilangan dua jari tangan kanannya di
Tajikistan, saat ia melempar bom tangan yang ternyata meledak lebih dulu dan
mebuat jari-jarinya hancur. Saat jari-jarinya hancur, ia hanya mengolesinya
dengan sedikit madu dan membalutnya dengan kain. Jari-jari yang ia banggakan
sebagai saksi bahwa ia telah berjuang di jalan Allah. Begitu juga nama yang ia
sandang, Ibnul Khattab yang artinya dalah anak-anak Khattab. Mungkin saja ini
ia ambil dari nama sekolah dasarnya di kota Tsuqbah, Sekolah Dasar Umar bin
Khattab. Ia bangga dengan nama itu, sebuah penanda tentang keberanian dan
keteguhan jiwa.
Ia seorang anak yang sangat cerdas. Cita-citanya
menjadi seorang doktor. Ia selalu menulis cita-citanya tersebut dalam buku
harian. Cita-cita demi cita-cita yang ternyata tak satu pun pernah dinikmatinya
karena ia lebih menikmati panggilan jihad yang ternyata jauh lebih nikmat dari
sekedar cita-cita yang hanya berbentuk gelar doktor semata.
Tak hanya di Chechnya ia mengobarkan semangat jihad,
tapi juga di Dagestan, sebuah daerah yang ingin merdeka dari cengkraman
penjajahan. Dagestan adalah sebuah daerah yang hampir sama dengan Chechnya,
mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin. Namun, pemerintahan yang mengatur
wilayah ini adalah rezim zhalim yang didukung Rusia untuk berbuat
sewenang-wenang pada rakyatnya. Pencurian merajalela, suap dan laku bejat
lainnya sungguh subur tak terkira. Rakyat yang sudah muak akhirnya bertindak.
Mereka bersatu mengusir pemerintahan setempat dan mengambil alih kekuasaan.
Menerapkan hukum Islam dan mengembalikan keamanan. Hanya dalam waktu singkat,
kondisi meningkat sangat baik. Perekonomian bergerak, dan yang lebih penting
lagi, ibadah dapat tegak. Melihat perkembangan yang positif ini, banyak wilayak
lain melakukan hal yang sama, mereka mengusir pemerintahan lokal dan
menggantikannya dengan hukum Islam.
Namun barisan kelompok sakit hati, yang terusir dari
kekuasaannya tak rela begitu saja. Mereka meminta bantuan kepada Rusia untuk
menurunkan kekuatan militer guna menekan kekuasaan Islam yang mulai berkembang.
Karenanya, Rusia pun dengan senang hati melakukan pembantaian demi pembantaian.
Mengahadapi tekanan yang seperti ini, rakyat dan pimpinan kaum Muslimin di
Dagestan mengirimkan permintaan kepada mujahidin di Chechnya untuk membantu
perjuangan mereka. Dan permintaan ini disambut dengan suka cita oleh dua
sahabat dalam jihad, Ibnul Khattab dan Syamil Basayev.
Setelah melalui dewan pertimbangan, Majelis Syura
Mujahidin yang dipimpin oleh Asy Syahid (kama nahsabuhu, red) Syaikh Abu Umar
As Saif, seorang murid dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Ibnul
Khattab ditunjuk sebagai pemimpin ekspedisi militer menuju Dagestan pada
Desember 1997. Dengan izin Allah, mujahidin berhasil memukul mundur tentara
Rusia dari Dagestan. Namun perang mamang tak pernah mudah. Dan satu perang, tak
akan pernah selesai, kecuali menyulut peperangan lainnya. Setelah Dagestan,
Rusia pun kembali melancarkan serangannya ke Chechnya. Periode ini lebih
dikenal dengan Perang Chechnya II.
Dalam perang Chechnya periode kedua inilah, Ibnul
Khattab menemui syahidnya. Ia tidak tertembus peluru, ia tidak terserang bom,
tapi Rusia dengan keji mengirimkan penyusup ke dalam tubuh pasukan Mujahidin
dan meracuni Ibnul Khattab. Ia dibunuh melalui surat yang telah dilumuri racun
oleh seorang kurir yang telah direkrut menjadi agen FSB dan mendapatkan imbalan
yang sangat besar. Kurir jahannam itu membubuhkan racun pada surat yang dikirim
oleh salah seorang komandan mujahidin dan ditujukan kepada Ibnul Khattab. Maret
2002, Ibnul Khattab berpulang ke Rahmatullah. Umurnya belum genap 33 tahun, dan
dari umur yang sangat singkat itu, hampir setengah usianya dihabiskan di medan
jihad membela agama Allah dan kepentingan kaum Muslimin.
Setelah ia berpulang, di buku hariannya ditemukan
puisi kecil yang seolah memprediksi akhir perjalanan hidupnya. Dalam puisinya
Ibnul Khattab menuliskan:
Setetes saja racun, akan membunuhmu
Membuatmu tak berdaya melakukan apapun
Kehidupan adalah perjuangan
Dan perjuangan akan menyelamatkanmu dari tetesan itu
Tetapi kita tetap menuju fana’
Maka pilihlah jalan yang paling mulia untuk kematian
Jalan yang membawa kemuliaan di surga
Dan jangan sampai kau mati karena urusan dunia
Yang tentu akan melemparkanmu ke neraka
Ibnul Khattab memang telah tiada, tapi seluruh dunia
akan mengenangnya sebagai seorang mujahid, sebagai seorang lelaki yang begitu
merindukan surga. Selamat jalan manusia perindu surga.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah
itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat
rezki.
Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang
diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang
yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar
dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
beriman.”
(QS Ali 'Imraan [3]: 169-171)
Sumber:
Buku Perjalanan Meminang Bidadari: Kisah Luar Biasa 10 Tokoh Syahid
Modern karya Herry Nurdi dengan sedikit perubahan