A. Tujuan
Penciptaan Manusia
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (menyembah) kepada-Ku”. (QS
Adz Dzariyaat [51]: 56)
Tujuan kita di dunia ini bukan
apa-apa, tapi hanya untuk mengabdi “liya' buduun” kepada Allah.
”Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit,
lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.
(QS Al Baqarah [2]: 29)
Bumi
dan segala isinya, semuanya Allah ciptakan buat kita, sedangkan kita diciptakan
oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya, maka sangat keliru bila orang sibuk
mengorbankan Tauhidnya, mengorbankan agamanya untuk mendapatkan materi,
mendapatkan uang, makanan, atau harta benda lainnya dari dunia yang fana' ini,
padahal Allah telah memperingatkan:
”Hai manusia, sesungguhnya janji
Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan
kamu dan sekali-kali janganlah Syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu
tentang Allah”. (QS Faathir [35]:
5)
Jadi,
kalau orang lupa kepada tujuan hidup yaitu beribadah kepada Allah dan ia malah
menjadi hamba atau abdi bagi selain Allah, berarti dia telah terpedaya dengan
kehidupan dunia, dia terpedaya oleh Syaitan dan dia lupa akan tujuan hidup yang
sebenarnya.
2. Tujuan
Diutusnya Para Nabi dan Rasul
”Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah
(saja), dan jauhilah Thaghut”.” (QS
An-Nahl [16]: 36)
Ayat
ini secara tegas dan jelas menjelaskan bahwa semua Rasul diutus oleh Allah,
yang pertama kali mereka ucapkan pada kaumnya termasuk Rasulullah adalah:
“Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah Thaghut”.
Hal ini
adalah ikatan paling agung dari ikatan-ikatan Islam. Amalan lain tidak mungkin
diterima tanpa hal itu. Orang tidak mungkin selamat dari api neraka tanpa
berpegang erat terhadapnya, karena hal itu (kufur kepada Thaghut dan iman
kepada Allah) adalah satu-satunya ikatan yang telah dijamin oleh Allah bahwa
itu tidak mungkin lepas.
”Telah jelas jalan yang benar
dari jalan yang sesat, karena itu barangsiapa kufur kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus”. (QS Al-Baqarah [2]: 256)
Inilah “Al-'Urwah
Al Wutsqa”. Al-'Urwah adalah ikatan dan Al-Wutsqa
adalah yang amat kokoh dan ikatan yang amat kokoh inilah Laa ilaaha
illallah karena ikatan tersebut tidak akan putus.
Lantas,
apa itu Thaghut? Mengapa harus kafir pada Thaghut agar dapat berpegang pada
tali yang amat kokoh itu?
”Dan orang-orang yang menjauhi
Thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita
gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku“ (QS Az-Zumar [39]: 17)
Menurut bahasa, Thaghut diambil
dari kosa kata Thughyaan yakni
melampaui batas makhluk yang telah Allah batasi tujuan penciptaannya.
Beberapa ulama' telah mendefinisikan Thaghut, di antaranya:
Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab, seorang 'ulama pejuang Tauhid, mengatakan:
“Thaghut itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada lima:
1. Iblis (Syaithan), yang telah dilaknat oleh Allah;
2. Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela;
3. Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.;
4. Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib, dan
5. Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang
telah diturunkan oleh Allah.”
[Kitab Ushuluts Tsalatsah]
”Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim
kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. Dan
Syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An Nisa' [4]: 60)
Ibnu
Katsir berkata:
“Ayat ini lebih umum dari semua itu, karena ia mencela orang
yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah dan berhukum kepada selain keduanya
berupa kebathilan. Dan inilah yang dimaksud dengan Thaghut itu di sini”. [Tafsir
Ibnu Katsir, I / 519]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan
“Orang yang dijadikan pemutus perkara seperti hakim yang
memutuskan perkara dengan selain Kitabullah (Al-Qur'an) adalah Thaghut” [Kitab
Majmu' Fatawa : XXVIII/201]
Ibnul
Qayyim Al Jauziyyah berkata:
“Thaghut adalah segala sesuatu yang dilampaui batasnya
oleh seorang hamba baik yang diibadahi atau ditaati. Thaghut setiap kaum adalah
orang yang mana mereka berhakim kepada selain Allah dan Rasul-Nya, atau mereka
mengibadatinya selain Allah atau mereka mengikutinya tanpa bashirah (penerang)
dari Allah atau mereka mentaati dalam apa yang tidak mereka ketahui bahwa itu
adalah ketaatan kepada Allah.
Inilah Thaghut-Thaghut dunia, bila engkau mengamatinya
dan mengamati keadaan keadaan manusia bersamanya maka engkau melihat mayoritas
mereka berpaling dari menyembah Allah kepada menyembah Thaghut dan dari
berhakim kepada Allah dan Rasulnya kepada berhakim kepada Thaghut serta dari
mentaati Allah serta mengikuti Rasul-Nya menjadi mentaati Thaghut serta
mengikutinya”. [I'lamu Al Muwaqqi'in, I / 50]
3. Makna,
Rukun, Syarat dan Konsekuensi Laa ilaaha illallaah
Sesungguhnya
kalimat Tauhid ini memiliki beberapa unsur penting, yakni: Makna, Rukun,
Syarat, Konsekuensi.
Syaikh
Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata
“Tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam rububiyah,
ikhlas beribadah kepadaNya, serta menetapkan bagiNya nama – nama dan sifat –
sifatNya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam: Tauhid Rububiyah, Tauhid
Uluhiyah serta Tauhid Asma' wa Shifat.
Tauhid Rububiyah yaitu mengesakan Allah
dalam segala perbuatanNya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan
segenap makhluk, bahwa Dia adalah Pemberi rizki bagi semua makhluk, Dia adalah
Penguasa alam dan Pengatur semesta, Yang Menghidupkan dan Mematikan, dll.
Tauhid Uluhiyah yaitu mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan
niat taqarrub yang disyariatkan seperti doa, nadzar, kurban, raja'
(pengharapan), takut, tawakkal, dll.
Tauhid Asma' wa Shifat yaitu beriman kepada
nama-nama Allah dan sifat-sifatNya, sebagaimana yang diterangkan dalam Al
Qur'an dan Sunnah RasulNya, menurut apa yang pantas bagi Allah, tanpa
ta'wil, ta'thil (menghilangkan nama atau
sifat Allah), takyif (mempersoalkan hakikat asma' dan sifat Allah dengan
bertanya “bagaimana”), dan tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhlukNya).” [Kitab
Tauhid]
Dalam
buku yang sama Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengemukakan bahwa Laa ilaaha
illallaah mempunyai dua rukun: An Nafyu dan Al Itsbat.
1. An-Nafyu
(pada kalimat: Laa ilaaha), yaitu menafikan segala bentuk
sesembahan yang ada.;
2. Al-Itsbat
(pada kalimat: Illallaah), dan menetapkan penyembahan hanya
kepada Allah.
Muhammad
bin Sa'id Al-Qahthany menjelaskan tentang rukun ini bahwa:
“An-Nafyu mencakup empat perkara, yaitu An-Nafyu
(meniadakan) Al-Alihah, Ath-Thaghut, Al-Andad
dan Al-Arbab.
Al-Itsbat mencakup empat perkara, yaitu Al-Qashdu,
At-Ta'zhim dan Al-Mahabbah, Al-Khauf
dan Ar-Raja', dan At-Taqwa.“ [Al-Wala' wal-Bara'
Fil-Islam]
Ketika
ada orang bertanya kepada Wahb bin Munabbih (’ulama tabi'in),
”Bukankah laa ilaaha illallaah adalah kunci Surga?”
Ia menjawab,
”Benar, namun tidak ada satu kunci pun kecuali mempunyai
gigi-gigi. Jika engkau menggunakan kunci yang bergigi, pintu akan terbuka. Jika
tidak, tidak akan terbuka.”
Gigi-gigi kunci itu adalah syarat-syarat laa ilaaha
illallaah berikut:
1.’Ilmu yang menafikan jahl (kebodohan);
2. Yaqin (yakin) yang menafikan syak
(keraguan);
3. Qabul (menerima) yang menafikan radd
(penolakan);
4. Inqiyad (patuh) yang menafikan tark
(meninggalkan);
5. Ikhlas, yang menafikan syirik;
6. Shidq (jujur) yang menafikan kadzib
(dusta);
7. Mahabbah (kecintaan) yang menafikan baghdha'
(kebencian)
[lihat Al-Wala' wal-Bara' Fil-Islam dan Kitab Tauhid]
Muhammad
bin Sa'id Al-Qahthany juga menjelaskan dalam Al-Wala' wal-Bara' Fil-Islam:
“Dasar Walaa' adalah kecintaan dan dasar Baraa'
adalah kebencian. Dari keduanya lahirlah sebagian perbuatan hati dan anggota
badan yang termasuk hakikat loyalitas dan antiloyalitas, seperti membela, mengasihi,
membantu, berjihad, hijrah, dan sejenisnya, maka Walaa' dan Baraa'
merupakan bagian dari konsekuensi laa ilaaha illallaah”
Ya,
inilah seluk – beluk kalimat Tauhid.
Kalimat yang maknanya harus menghujam ke dalam hati, lafalnya diucapkan secara
lisan, serta rukun, syarat, dan konsekuensinya harus diamalkan dengan
perbuatan. Inilah inti agama Allah, inti dakwah para Rasul, dan inti tujuan
diciptakannya jin dan manusia.
Namun,
apakah kalimat Tauhid hanya pelafalan di mulut saja?
Syaikh
Sulaiman Ibnu 'Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam kitab
beliau Taisir Al 'Aziz Al Hamid:
“Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah
tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen
dengan Tauhid, meninggalkan segala bentuk Syirik Akbar dan kafir terhadap
Thaghut maka pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya tersebut tidak
bermanfaat berdasarkan ijma' para ‘ulama”.
Mari,
kita kaji sirah Nabi kembali untuk melihat betapa kalimat Tauhid ini
diimplementasikan dengan perbuatan. Sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wassalam digelari oleh masyarakat sekitarnya
sebagai Al Amin (orang yang jujur lagi terpercaya). Tetapi ketika
mendakwahkan Laa ilaaha illallah maka gelar itu berubah menjadi: “Tukang
sihir lagi pendusta”. (QS Shaad [38]: 4), “Penya'ir Gila”. (QS
Ash Shaaffat [37]: 36) dan dalam ayat yang lain dikatakan ”sesat”.
Semua perubahan ini terjadi karena Laa ilaaha illallah. Tidak
mungkin orang sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallah langsung
dikatakan : gila, pendusta, penya'ir gila, melainkan ketika mengamalkan
konsekuensi Laa ilaaha illallah.
Rasulullah
dilempari, dicekik, Bilal disiksa, Sumayyah dibunuh, Yasir dibunuh, Ammar
disiksa dan karena mendapat intimidasi yang dahsyat, maka para shahabat yang
lainnya diizinkan hijrah ke Habasyah (Ethiopia), meninggalkan kampung halaman,
rumah, harta benda, mengarungi padang pasir yang luas dan mengarungi lautan
yang jauh untuk menyeberang ke Benua Afrika. Karena apa? Karena mempertahankan Laa ilaaha
illallah. Andaikata Laa ilaaha illallah itu hanya sekedar
mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis yang dituntut oleh kalimat tersebut
pada realita kehidupan, maka tidak mungkin terjadi apa yang menimpa mereka.
4. Penutup
Telah banyak disampaikan rukun dan
syarat dari Rukun Islam yang lain, seperti Shalat, Zakat, Puasa Ramadhan, dan
Haji. Namun, sedikit sekali yang menyinggung rukun dan syarat dari Rukun Islam
pertama yakni Syahadatain, yang di dalamnya ada kalimat Tauhid.
Padahal, inilah perkara yang paling urgent, yang jika tanpa kalimat Tauhid itu,
maka semua amalan Rukun Islam lain akan sia-sia dan tidak diterima. Maka apakah
yang menjadi alasan buat kita untuk merasa ”bodoh” dan tidak mengkaji lebih
dalam tentang kalimat mulia ini?
“Dan sesungguhnya telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Az Zumar [39]: 65)
Kami telah menyebutkan
istilah-istilah dalam bahasan Tauhid namun karena keterbatasan space dalam
buletin ini, maka kami hanya dapat menyarankan kepada ikhwah semua untuk lebih
dalam mengkaji bahasan mulia ini dan mendalami istilah–istilah itu. Kitab yang
bisa dijadikan rujukan adalah: Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih bin
Fauzan Al Fauzan, Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
serta syarahnya (penjelasannya) yakni Kitab Fathul Majid karya Syaikh
Abdurrahman bin Hasan, serta Kitab Al Wala' wal Bara' Fil Islam
(Loyalitas dan Antiloyalitas dalam Islam) karya Muhammad bin Sa'id Al Qahthani,
serta kitab-kitab lain dari ‘ulama Ahlus Sunnah yang membahas Tauhid.
Wallaahu a'lam bish shawwab.
Maraji’:
Kitab Tauhid I karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Kitab Al Wala' wal Bara' Fil Islam (Loyalitas dan
Antiloyalitas dalam Islam) karya Muhammad bin Sa'id Al Qahthani
Kumpulan ebook tulisan Ustadz Amman
Oleh: Sayogyo RD, telah dimuat di buletin IMAM FTMD Edisi
5 (April 2012/Jumadil Awwal 1433 H)
share yah
BalasHapus