Syaikh
Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata
“Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan
ibadah itu tidak benar kecuali dengan ada syarat:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar
dan kecil.
2.Sesuai dengan tuntunan (sunnah) Rasulullah.”
[Kitab Tauhid]
Dalil
dari kedua syarat ini adalah:
“Yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kalian,
siapa di antara kalian yang paling baik amalannya“
(QS Al-Mulk [67]: 2)
Al Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah
menafsirkan “Siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”:
“(Yaitu) Yang paling ikhlasnya dan yang paling benarnya.
Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasan akan tetapi belum benar maka
tidak akan diterima, dan jika amalan itu benar akan tetapi tanpa keikhlasan
maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Yang ikhlas
adalah yang hanya untuk Allah dan yang benar adalah yang berada di atas sunnah
(Rasulullah)”
[Majmu' Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (18/250)]
“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amalan yang shaleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”
(QS Al-Kahfi [18]: 110)
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat di atas,
“'Maka hendaknya ia mengerjakan amalan yang shaleh',
yaitu apa-apa yang sesuai dengan syari'at Allah.
'dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya' yaitu yang hanya
diinginkan dengannya wajah Allah tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun
dari amalan yang diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah dan benar di atas
syari'at Rasulullah ”.
[Tafsir Ibnu Katsir]
1. SYARAT
PERTAMA : IKHLAS HANYA KEPADA ALLAH
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
berkata
“Syarat Pertama adalah konsekuensi dari syahadat Laa
ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah
dan jauh dari syirik kepadaNya.”
[Kitab Tauhid]
”Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al Quran)
dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)”.
(QS Az-Zumar [39]: 2-3)
”Katakanlah: ”Sesungguhnya aku diperintahkan supaya
menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama” ”.
(QS. Az-Zumar [39]: 11)
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus”
(QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan
setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah
karena Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia
yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya
berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita, pen)”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Keikhlasan
di sini adalah mencakup dua perkara:
1.
Lepas dari Syirik Ashghar (kecil) berupa riya' (ingin dilihat), sum'ah
(ingin didengar), keinginan mendapatkan balasan duniawi dari amalannya dan yang
semisalnya dari bentuk-bentuk ketidakikhlasan.
”Barangsiapa yang menghendaki (dengan ibadahnya)
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka
dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan”.
(QS. Huud [11]: 15-16)
2.
Lepas dari Syirik Akbar (besar) yaitu menjadikan sebahagian dari atau
seluruh ibadah yang sedang dia amalkan untuk selain Allah. Perkara kedua ini
jauh lebih berbahaya, karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan
sia-sia dan tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah
yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali.
”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(Nabi-nabi) yang sebelummu :, “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan
terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi” “.
(QS. Az-Zumar [39]: 65)
2. SYARAT
KEDUA : MENGIKUTI (ITTIBA') TUNTUNAN (SUNNAH) RASULULLAH
Syaikh
Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata
“Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat
Muhammad Rasulullaah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti
syariatnya, dan meninggalkan bid'ah atau ibadah – ibadah yang diada – adakan.”
[Kitab Tauhid]
Maka
Allah tidak boleh disembah dengan bid'ah, tidak pula dengan hawa nafsu, adat
istiadat, kebiasaan, perasaan atau anggapan-anggapan yang ia pandang baik
karena sesungguhnya asal dari ibadah itu adalah syari'at, maka nanti dikatakan
ibadah kalau disyari'atkan.
”Katakanlah: ”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah,
maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa
kalian,” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS. Ali 'Imran
[3] :31)
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata,
”Ayat yang mulia ini adalah hakim atas semua orang yang
mengaku mencintai Allah akan tetapi dia tidak di atas jalan Nabi Muhammad.
Karena sesungguhnya dia dusta dalam pengakuannya tersebut, sampai dia mengikuti
syari'at kenabian pada seluruh ucapan dan perbuatannya.”
[Tafsir Ibnu Katsir]
”Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama
kalian dan Aku cukupkan pada kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama
kalian”.
(QS Al Maa'idah [5]: 3)
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata,
”Ini adalah nikmat terbesar dari seluruh nikmat Allah
Ta'ala atas ummat ini yaitu Allah Ta'ala telah menyempurnakan untuk mereka
agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka
–shalawat dan salam Allah atas beliau-. Oleh karena itulah Allah Ta'ala
menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi, mengutus beliau kepada seluruh
manusia dan jin, maka tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan,
tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan dan tidak ada agama
kecuali apa yang beliau syari'atkan”.
[Tafsir Ibnu Karsir]
Maka
siapa saja yang beramal dengan suatu ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassalam maka amalan tersebut tertolak
dan sia-sia.
”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu
Kami jadikan amalan itu (bagaikan) debu yang beterbangan”.
(QS Al Furqan [25]: 23)
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wassalam
telah bersabda:
”Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan
kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.
(HR. Bukhari dan Muslim dari 'A'isyah).
Tidak
akan terwujud ittiba' (mengikuti sunnah) sampai ibadah yang dilakukan
sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah dalam 6 perkara:
a.
Sebab Pelaksanaannya
Ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah
tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima. Misalkan seseorang yang merayakan
maulid dengan alasan sebagai bentuk kecintaan dan mengirimkan sholawat kepada
beliau. Ini bukanlah ittiba' karena walaupun mencintai Nabi dan mengirimkan
sholawat kepada beliau adalah ibadah akan tetapi orang ini menjadikan perayaan
maulid sebagai sebab dia melaksanakan ibadah-ibadah di atas, padahal Allah dan
RasulNya tidak pernah menjadikan maulid ini sebagai sebab/wasilah untuk
mencintai dan bersholawat kepada beliau.
b.
Jenisnya
Ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya, contoh seseorang yang
menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi syari'at dalam
jenisnya. Jenis binatang yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan
kambing.
c.
Ukurannya
Misalnya ada seseorang yang shalat zhuhur 6 raka'at atau berwudhu dengan
4 kali cucian dengan sengaja dan tanpa udzur yang membolehkan, maka sholat
zhuhurnya serta cucian keempatnya tidak diterima karena menyelisihi syari'at.
d.
Sifatnya
Misalnya
ada orang yang wudhu lalu mendahulukan mencuci kaki sebelum mencuci wajah atau
seseorang yang shalat dan memulainya dengan sujud, maka kedua ibadah seperti
ini tidak akan diterima.
e.
Waktu Pelaksanaannya
Apabila ada orang menyembelih binatang kurban Idul Adha pada hari pertama
bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena syari'at menentukan penyembelihan pada
hari raya dan hari tasyriq saja.
f.
Tempat Pelaksanaannya
Misalnya ada orang yang beri'tikaf di kamar rumahnya atau pergi melakukan
thawaf kepada Allah di kuburan. Kedua ibadah ini tidak akan diterima karena
i'tikaf, tempat disyari'atkannya adalah di masjid sedangkan thawaf hanya
diperbolehkan di Ka'bah bahkan perbuatan kedua ini bisa masuk ke dalam kategori
syirik kecil karena merupakan wasilah/pengantar kepada syirik besar.
[Lihat
Al-Hatsts 'ala Ittiba'is Sunnah (hal. 26-27 dan hal. 48-50), Al-Qaulul Mufid
fii Adilatit Tauhid (hal. 39-40) dan Majmu' Fatawa Syaikh Ibnu 'Utsaimin
(7/332-336)]
Ibnul
Qoyyim Al Jauziyyah rahimahullah telah membagi manusia berdasarkan dua
syarat ini menjadi empat golongan yang kesimpulannya sebagai berikut :
1)
Orang yang dalam amalannya
terkumpul kedua syarat di atas, mereka adalah orang-orang yang menyembah Allah
dengan sebenar-benarnya, karena mengikhlaskan amalan mereka hanya kepada Allah
dalam keadaan mencontoh Rasulullah. Mereka tidak beramal untuk manusia karena
mereka sangat mengetahui bahwa pujian manusia sama sekali tidak bisa
mendatangkan manfaat, akan tetapi mereka mengikhlaskan ibadah mereka secara
zhohir dan batin serta mereka jujur dalam mengikuti Nabi secara zhohir dan
batin.
2) Orang
yang kehilangan dua syarat ini dalam amalannya. Ini adalah keadaan kebanyakan
orang-orang yang senang berbuat kerusakan dan para zindiq (orang kafir yang
pura-pura masuk Islam untuk menghancurkannya dari dalam) yang mereka ini dalam
beramal suatu amalan tidak memeperdulikan keikhlasan di dalamnya dan tidak
perduli walaupun menyelisihi sunnah Rasulullah.
3) Orang
yang beramal dengan ikhlas tapi tanpa ittiba'. Ini kebanyakannya terjadi pada
orang-orang sufi dan para ahli ibadah yang bodoh tentang syari'at, yang tahunya
hanya beribadah dan tidak pernah menuntut ilmu. Mereka melakukan bid'ah dalam
ucapan-ucapan dan amalan-amalan mereka dengan maksud bertaqarrub kepada Allah
akan tetapi hakikatnya perbuatan mereka tidak menambah kecuali semakin jauh
dari Allah.
4) Orang
yang memiliki ittiba' dalam amalannya tapi meninggalkan keikhlasan, seperti
keadaan orang-orang munafik, orang-orang yang senang riya' dan sum'ah. Mereka
ini adalah orang yang amalan mereka tidak memberikan manfaat apapun kepada
mereka.
[Madarijus Salikin (1/95-97)]
Jadi,
dalam urusan ibadah, ikhwah semua harus bertanya pada diri sendiri:
“Karena siapa aku beramal ?”
“Apa landasan atau dalil yang aku jadikan dasar?”
Wallaahu a’lam bishshawwab
Maraji’:
Dari berbagai sumber
Oleh: Sayogyo RD, telah dimuat di buletin IMAM FTMD edisi 6 (Jumadil Awwal 1433 H/April 2012 M)
Oleh: Sayogyo RD, telah dimuat di buletin IMAM FTMD edisi 6 (Jumadil Awwal 1433 H/April 2012 M)
0 comments :
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.