Penggalan kata kedua dari lafal: Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah kata "Jama'ah". Digabung dengan kata "Ahlu" menjadi "Ahlul Jama'ah". Ahlus Sunnah
sudah dijelaskan di atas, sekarang akan kita kaji bersama tentang Ahlul Jama’ah.
1. Definisi Jama'ah Secara Bahasa
Kata "Jama’ah" secara bahasa berarti kelompok, bersatu lawan
dari kata berpecah belah. Dalam hadits banyak sekali disebutkan perintah untuk
berjama’ah dan larangan untuk berpecah belah.
[al Mishri 49, menukil dari
Majmu’ Fatawa III/157 dan Lisanul Arab VIII/53]
Di antara hadits-hadits itu
antara lain :
"Siapa ingin tengah-tengahnya Surga hendaknya ia selalu
berjama’ah karena setan itu bersama orang yang sendirian dan menjauh dari dua
orang."
[HR Imam Ahmad I/18, Imam Tirmidzi no. 2165, Imam Al Hakim I/114, dishahihkan Syaikh Albani]
"Barangsiapa melihat dari amirnya (kepala negara Islam) hal
yang tidak ia senangi hendaknya ia bersabar karena siapa saja yang keluar dari
jama'ah lalu mati maka ia mati dalam keadaan jahiliyah."
[HR Imam Bukhari 7054 dan
7143, Imam Muslim 1849]
Dalam hadits-hadits yang menerangkan perpecahan umat Islam
menjadi 73 golongan disebutkan bahwa golongan yang selamat hanya satu yaitu jama’ah, dalam riwayat lain
"Maa ana 'alaihi wa ashahabi (apa yang aku dan para
shahabatku berada di atasnya)."
[Misalnya lihat Ahmad
IV/102, Abu Daud 4597,Al Hakim I/128, Ad Darimi 2521, dishahihkan Albani dalam
Shahihah 204]
2. Definisi Jama'ah Secara Syar'i
Dari sekian banyaknya perintah untuk berjama’ah yang
disebutkan dalam hadits, bisa dipahami bahwa Ahlul Jama’ah berarti orang yang
mengikuti jama’ah. Sekarang timbul pertanyaan, apa makna jama’ah yang
dimaksudkan oleh hadits-hadits ini ?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Secara global
pendapat mereka bisa dikelompokkan menjadi lima pendapat [lihat Fathu Bari
XIII/37, Umdatul Qari XXIV/195, I’thisam II/260-265], yaitu :
1. Yang dimaksud dengan jama’ah adalah generasi shahabat.
Dalam hadits-hadits tentang jama’ah disebutkan bahwa yang selamat adalah
"Maa
ana ‘alaihi wa ashahabi (apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya)"
Ini merupakan pendapat Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan artian ini setiap
orang yang beramal berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman
generasi shahabat bisa disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
2. Yang dimaksud dengan jama’ah dalam hadits-hadits di atas
adalah para 'ulama Mujtahidin dari kalangan 'ulama hadits, 'ulama fikih dan 'ulama-'ulama lain. Artinya 'ulama mujtahidun menjadi panutan masyarakat. Bila
masyarakat tidak mengikuti mereka akan tersesat. Yang berpendapat demikian
adalah Imam Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahawih, Imam Tirmidzi, para ulama
ushul fikih dan sekelompok ulama salaf.
Di antara para ulama belakangan ('ulama khalaf) yang
berpendapat demikian ini adalah Imam Muhammad Syamsul Haqq Adzim Abady, ulama
yang mensyarah/menjelaskan Sunan Abu Daud dalam bukunya yang terkenal Aunul Ma'bud XII/342.
Perlu kita jelaskan disini bahwa ulama di sini bukan sembarang ulama.
Ulama di sini adalah ulama yang benar-benar mengikuti Al Qur’an, As Sunnah dan
petunjuk para shahabat. [Basyir Badi: 89]. Itulah sebabnya para 'ulama semisal
Yazid bin Harun, Ibnul Mubarak, Imam Ahmad, Ahmad bin Sinan, Ali Al Madini [guru Imam Bukhari] dan Imam Bukhari menyebut mereka sebagai Ahlus Atsar wal
Hadits/'ulama hadits.
[al Mishri 50-51, al Hindawi 45-46, al Mahmud , Ashowi dan
Basyir Badi, menukil dari Syaraf Ashabil Hadits; 26, Majmu’ Fatawa III/347,
Ma’arijul Qabul I/19].
Maksud para 'ulama ini bukan membatasi yang namanya Ahlus
Sunnah wal Jama’ah itu ulama hadits saja. Bukan, maksud mereka bukan demikian.
Mereka hanya memberi contoh, bahwa ulama hadits termasuk pembesar/teladan dari
kalangan Ahlus Sunnah, merekalah yang paling berhak disebut Ahlus Sunnah karena
pada masa itu dan juga masa sekarang, ulama hadits-lah yang paling mengetahui
dan memahami sunnah Rasulullah dan para shahabat. Dalam kenyataannya ada juga 'ulama hadits yang melenceng dari sunnah Rasulullah, mereka ini tidak disebut Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Dengan demikian, patokannya adalah bukan ia pakar ilmu
hadits-nya namun mengikuti sunnah Rasulullah atau tidaknya.
[Ibnu Hajar I/164,
Tuhfatul Ahwadzi VI/434, lengkapnya baca Basyir Baady].
3. Ijma’, yaitu kesepakatan umat Islam dalam suatu masalah
tertentu. Bila seluruh umat Islam telah mengadakan ijma’ maka wajib bagi mereka
untuk mengikutinya. Orang yang menyelisihinya tidak termasuk sebagai Ahlus Sunnah.
Misalnya umat Islam telah sepakat wajibnya sholat lima waktu. Orang yang
berpendapat tidak wajibnya sholat lima waktu bukan orang Ahlus Sunnah. Banyak
para ulama yang mengembalikan pendapat ketiga ini kepada pendapat kedua karena
pada dasarnya yang berijma' itu bukan umat Islam namun para ulama mujtahidun.
[Asy Syathibi II/264, Ibnu Hajar XIII/31, Ashowi : 20, al Mishri: 51]
4. Kelompok mayoritas umat Islam (As Sawadhul A'dzam).
Artinya jika suatu hal telah diyakini dan dijalankan oleh umat Islam maka yang
menyelisihinya terhitung orang yang sesat dan bukan termasuk Ahlus Sunnah.
Dengan catatan apa yang diyakini umat Islam ini benar-benar berlandaskan Al
Qur’an dan As sunnah. Pendapat ini pada dasarnya juga tidak berbeda dengahn
pendapat sebelumnya. Pendapat ini merupakan pendapat Abu Mas’ud al Anshari,
Uqbah bin Amir bin Tsa’labah al Anshari dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhum. Pendapat ini dijelaskan oleh Imam Asy Syathibi [II/261],
"Dengan makna ini,
termasuk dalam anggota jama’ah adalah para mujtahidin dan ulama dan juga
orang-orang yang beramal dan berjuang berdasar syariat. Masyarakat umum juga
termasuk karena mereka mengikuti para mujtahidin. Adapun kelompok selain mereka
termasuk ahlus bid’ah dan tidak termasuk ahlus sunnah."
5. Makna jama’ah adalah pemerintahan negara Islam/Khilafah
Islamiyah dengan seorang Imam/Khalifah. Siapa taat pada Imam berarti mengikuti
jama’ah dan siapa yang membangkang/memberontak berarti bukan Ahlus Sunnah/Jama’ah.
Orang yang mati dalam keadaan membangkang pada Imam yang sah, bila ia mati dalam
keadaan itu berarti seperti orang yang mati dalam keadaan jahiliyah. Yang
berpendapat demikian adalah Ath Thabari [I’tisham II/264-265], Ibnu
Arabi [Aridhatul Ahwadzi IX/10] dan al Mubarakfuri [Tuhfatul Ahwadzi VI/384,
dari al Mishri, Ashowi, Basyir Badi dan al Hindawi].
Dari kelima pendapat di atas, para ulama [Ashowi: 21, Jamal Badi: 96-97, al Mishri: 53, al Hindawy: 42, 49-50 dan al Mahmud I/31, dst]
menyimpulkan bahwa makna jama’ah pada dasarnya berkisar pada dua makna pokok :
1. Aspek Ilmiah
Yaitu bersepakat atas satu aqidah, satu manhaj yang benar
yaitu Al Qur’an dan As Sunnah serta memahaminya sebagaimana generasi shahabat,
tabi’in, tabi’it tabi’in dan ulama mujtahidin sesudahnya yang terpercaya
memahami kedua sumber Islam ini. Pendapat ini merangkum pendapat no. 1,2,3 dan
4. Dalam hal ini, jama’ah artinya mengikuti kebenaran meskipun kita sendirian
dan meninggalkan kebatilan meski kebatilan itu dianut oleh mayoritas manusia di
muka bumi ini.
Ibnu Mas’ud berkata,
"Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan
kebenaran meski engkau sendirian."
[Abu Syamah dalam Al Hawadits wal Bida’: 22,
dari al Wuhaibi I/16, al Mishri 49, Hasan 38-39, dll]
Al Lalikai juga berkata,
"Jama’ah itu apa yang sesuai dengan
ketaatan Allah meski engkau sendirian."
[Al Laalikai I/108].
Abu Syamah [dalam al Hawadits wal Bida’ 34, dari al Wuhaibi
I/16, al Mishri 49, Hasan 38-39, dll] juga menegaskan,
"Kapan ada perintah untuk
selalu menetapi jama’ah maka maknanya adalah selalu mengikuti kebenaran
meskipun yang berpegang teguh dengan kebenaran itu sedikit jumlahnya dan yang
menyelisihi kebenaran iu banyak. Kebenaran adalah apa yang dibawa oleh jama’ah
pertama yaitu Rasululah dan generasi shahabat. Kebenaran sama sekali tidak
diukur dari banyaknya pengikut kebatilan setelah masa shahabat."
Ibnu Abil Izz al Hanafi [hal: 431] berkata,
"Jama’ah adalah
jama'ah muslimin yaitu para shahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka
sampai hari kiamat nanti."
[Lihat juga Dr. Shalih Suhaimi, Tanbihu Ulil Abshar: 272].
Imam al Barbahari mengatakan [Syarhu Sunnah: 21],
"Pedoman yang kami
terangkan adalah bahwa jama’ah adalah para shahabat Rasulullah. Mereka itulah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah."
Dr Abdul Karim Aql berkata,
"Jama’ah berarti salafnya
[leluhur, nenek moyang] umat ini yaitu shahabat, tab’in dan orang yang
mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat nanti. Mereka berkumpul di atas Al Kitab, As Sunnah dan atas imam-imam mereka dan orang-orang yang berjalan di
atas jalan Rasulullah, shahabat dan pengikut mereka dngan baik."
[hal. 13,
menukil dari al I’tisham 1/28, Syarhu Wasithiyah 16-17, Syarhu Thahawiyah 33].
Asy Syathibi [I’tisham I/449] berkata,
"Sudah jelas jama’ah
dengan makna ini tidak mensyaratkan banyak sedikitnya pengikut, tapi yang
disyaratkan adalah sesuainya dengan kebenaran sekalip[un diselisihi oleh
mayoritas umat manusia. Karena itu ketika Abdullah ditanya tentang jama’ah yang
harus diikuti, beliau menjawab, 'Abu Bakar dan Umar.'
Beliau tetap menyebutkan
beberapa nama sampai menyebut nama Muhamad bin Tsabit dan Husain bin Waqid.
Orang yang bertanya berkata, 'Mereka semua telah mati, siapa yang masih hidup?' Beliau menjawab, 'Abu Hamzah As-Sunnah Syukri.' "
Nu’aim bin Hamad berkata,
"Jika jama’ah/masyarakat telah
rusak maka ikutilah apa yang jama’ah pertama [shahabat] berada di atasnya, karena
jama’ah itu adalah apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Azza Wa Jalla."
[Ibnul Qayim dalam Ighatsatul Lahfan I/70 dan I’lamul Muwaqi’in III/397].
Abu Ya’kub Ishaq bin Rahawaih ditanya, "Siapa kelompok
mayoritas (As Sawadu Al A'dzam) itu ?"
Beliau menjawab, "Muhammad bin Aslam dan
para pengikutnya."
Beliau meneranglan, "Kalau kau bertanya pada orang-orang
bodoh tentang kelompok mayoritas tentulah mereka menjawab, 'Jama'atun nas (mayoritas masyarakat).' Mereka itu tidak tahu bahwa jama’ah adalah ulama yang
berpegang teguh dengan atsar Nabi dan jalan beliau. Siapa mengikuti ulama ini,
itulah yang disebut Al Jama’ah."
[Syathibi I/453].
Dr. al Aql [hal 14] menyebutkan,
"Tidak berarti Ahlus Sunnah
wal Jama’ah itu mayoritas manusia – kecuali pada masa shahabat dan tabi’in
karena pada masa itu mayoritas manusia berada di atas kebenaran karena mereka
selalu dibina Rasul dan mereka dekat dengan masa Nubuwah. Adapun sesudah masa
mereka, ukuran banyak tidaknya pengikut tidak menjadi patokan benar tidaknya
manusia karena keumuman dalil-dalil yang menunjukkan banyaknya keburukan,
perpecahan umat menjadi 73 golongan, Islam akan kembali asing dll..---selama
mereka tidak berada di atas kebenaran."
Dr. Al Hindawi [hal. 41] berkata,
"Jama’ah dengan makna ini
baru diketahui para pengikutnya dengan sikap mereka yang berpegang teguh dengan
ushulu dien (pokok-pokok ajaran dien) yang diwariskan oleh salafnya umat ini (shahabat) yang mengikuti Nabi dan para shahabat.”
Hari ini pengikut kebatilan jauh lebih banyak di atas pengikut
kebenaran ini. Faham demokrasi, nasionalisme, sekulerisme, sosialisme
diagung-agungkan sebagian besar umat manusia. Di Indonesia sendiri sejak
sekitar tahun 80-an, Pancasila menjadi aqidah yang dipaksakan atas seluruh umat
Islam yang jumlahnya mayoritas. Banyak umat Islam yang menerimanya dan
membelanya sampai hari ini. Aqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah diajarkan sejak
dari SD sampai perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, tidak hanya kedua ajaran
tadi namun sudah mulai mempelajari Mu'tazilah, Syi'ah, dan ajaran-ajaran sesat
lainnya. Jumlah Ahlus Sunnah (yang memahami Aqidah Ahlus Sunnah) sangat sedikit
sekali, itupun masih dituduh dengan tuduhan Wahabi, pengikut Ibnu Taimiyah dan
lain-lain.
2. Aspek politik
Berjama’ah artinya berkumpul dan hidup di bawah sebuah
negara Islam, di bawah seorang Imam/Khalifah yang sah secara syar’i. Ini
merupakan pendapat kelima dalam makna jama’ah seperti yang kita terangkan
di atas. Selain para 'ulama salaf yang telah kita sebutkan di atas, para ulama
mua'shirin juga menyebutkan hal ini. Dr Ridho Na’san al Mu’thi dalam tahqiq dan
dirasahnya atas kitab al Ibanah 'an Syari'ati al Firqah an Najiyah karangan
Ibnu Bathah I/71-72 mengatakan,
"Bab ini menguatkan bahwa berjama'ah itu wajib
dan keluar dari jama’ah itu tidak boleh, baik jama’ah dalam artian berkumpulnya
umat Islam dibawah kepemimpinan seorang imam maupun berkumpulnya umat Islam di
atas satu aqidah" [Baca Basyir Badi]
Ini menegaskan bahwa umat Islam adalah umat yang selalu
hidup di bawah seorang pemimpin. Islam adalah agama dan negara, Islam menolak
seratus persen sekulerisme. Sejak zaman Rasulullah hingga tahun 1924 M, umat
Islam selalu dipimpin oleh para Khilafah sampai jatuhnya Khilafah Utsmaniyah di
tangan berhala kafir, Musthafa Kemal Attaturk, yang hari ini dielu-elukan oleh
banyak umat manusia sebagai Bapak Modernisasi Turki, padahal tak lain ia adalah bapaknya sekulerisme. Sayang sekali saat ini umat Islam hidup di bawah
kepemimpinan orang-orang sekuleris, sosialis, nasionalis, demokratis, marxis
dan orang-orang yang berideologi kafir sekalipun KTP mereka muslim bahkan
menyandang gelar kyai atau haji.
Di dunia saat ini tidak ada negara Islam yang
menerapkan 100% syariat Islam. Negara-negara yang ada hanyalah negara yang
mayoritas penduduknya muslim namun negara dan para pemimpin serta seluruh
sistem yang berjalan adalah sistem kekufuran. Saat ini, negara yang jelas-jelas
merintis untuk menerapkan Islam 100 % barulah Imarah Islam Afghanistan oleh pemerintahan
Thaliban (ditambah dengan berdirinya Daulah Islam Iraq, Daulah Islam Yaman, dan Daulah-Daulah lain, red), selain itu belum kita ketahui. Jama’ah dalam artian Imam/Khalifah
bagi seluruh umat Islam d dunia saat ini tidak ada, lowong, vacuum. Karena itu
umat Islam di dunia saat ini menjadi ajang mainan negara-negara kafir
internasional. Sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk berjihad menegakkan
negara Islam internasional/Kekhilafahan agar iltizam mereka kepada jama’ah
sempurna, dengan begitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah tak sekedar nama tanpa makna
saja.
3. Kesimpulan Kajian
1. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah generasi shahabat,
tabi’in dan seluruh umat Islam yang mendasarkan hidupnya, mejadikan pedoman dan
way ouf lifenya Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman generasi
shahabat dan juga berdasar ijma’. Standar kebenaran adalah Al Qur’an dan As Sunnah
serta Ijma yang merupakan kesepakatan para shahabat dan juga ulama mujtahidin
yang terpercaya sesudah mereka.
[I’lamul Muwaqi’in III/347, al Mahmud I/31, al
Buraikan 13].
2. Kelima makna yang disebutkan para ulama dalam makna
jama'ah di atas adalah kelompok yang mendasarkan dirinya pada Al Qur’an dan As Sunnah 'ala fahmi salaf /shahabah (di atas pemahaman salaf/shahabat, red) dan Ijma'. Mereka semua adalah kelompok Ahlus Sunnah,
selain Ahlus Sunnah tidak termasuk dalam jama'ah. [I’tisham II/265, ar Ruhaili
dalam Mauqifu Ahli Sunnah min Ahli Ahwa’ I/53-54, Majmu' Fatawa III/345-346].
Adapun selain mereka, yaitu golongan-golongan seperti Asy'ariyah,
Maturidiyah, Mu'tazilah, Khawarij, Murji’ah apalagi Rafidzah/Syi'ah dan
lain-lain, mereka semua ini bukan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan mereka bukanlah
yang dimaksudkan oleh hadits-hadits yang memerintahkan untuk berjama’ah.
3. Dewasa ini banyak tumbuh kelompok/partai/organisasi/jama’ah yang menyebut dirinya sebagai jama’ah dengan arti yang kelima (negara
Islam). Jama’ah dengan artian yang kelima biasa dikenal dengan istilah "Jama’atul Muslimin (Negara Islam)". Kelompok-kelompok ini menganggap syaikh,
murabbi, pendiri atau guru besar dan pemimpinnya sebagai Imam dalam artian Khalifah. Padahal banyak hadits yang menegaskan siapa hidup tidak berbai'at
pada Imam [Imam Negara Islam/Khalifah] berarti ia mati dalam keadaan jahiliyah.
Mereka "memperkosa" hadits-hadits ini dan mengetrapkannya pada umat Islam.
Mereka meyakini orang di luar kelompok/partai/jama'ahnya sesat dan kafir karena
tidak berbaiat pada jama'ahnya. Jelas sekali ini adalah pemikiran sesat. Namun
jangan mengira kelompok-kelompok ini sudah tidak ada. Justru kelompok ini
sekarang giat bekereja. Kelompok ini di antaranya adalah LDII, sebagian eks
DI/TII yang dikenal dengan nama KW 9 dan lain-lain. Hal ini perlu kita jelaskan
kepada umat, sebab jama'ah-jama'ah yang hari ini ada seperti IM (Ikhwanul Muslimin), HT (Hizbut Tahrir), Jama'ah
Islamiyah, Jama'ah Jihad, Jama'ah Tabligh dan gerakan-gerakan Islam lainnya
pada intinya adalah gerakan yang ingin menegakkan kemuliaan Islam kembali.
Mereka ini ingin menegakkan kembali Jama'ah Muslimin. Jadi jama'ah yang banyak
ini bukan Jama'ah Muslimin namun hanyalah Jama'ah min Ba'dhil Muslimin, jama’ah
dari sebagian umat Islam. Mereka ini seperti sekoci yang berlayar membawa umat
Islam yang telah kehilangan kapal induknya, yaitu Jama'ah Muslimin (Khilafah Utsmaniyyah, red) yang telah
ambruk tahun 1924 M. Umat Islam wajib hidup dalam naungan Jama'atul Muslimin. Ketika Jama'atul Muslimin tidak ada maka umat Islam harus senantiasa beriltizam
dengan jama'ah secara ilmi (aspek ilmiah) yakni Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ serta berjihad menegakkan Jama'ah Muslimin.
Wallaahu a'lamu bish-shawwaab
(bersambung)
Maraji' Kajian:
1. Al Khathib, DR. Muhammad Ajjaj, As-Sunnah Qabla at Tawin,
Dar Fikr cet. 6, 1997 M/1418 H.
2. Al Athr, Dr. Nurudin, Manhaju an Naqdi fi Ulumil Hadits,
Dar Fikr cet.3,1997 M/1418 H.
3. A’dzami, Dr, Musthofa Muhammad , Dirosat fi al Hadits an
Nabawy wa Tarikhu Tadwinihi, al Maktab al Islamy, 1413 H/1992 M.
4. Siba’i, Dr. Musthofa, As-Sunnah wa Makanatuha fi at
Tasyri’ al Islamy, al Maktab al Islamy, cet.4 1405 H/1985 M.
5. Thohan, Dr. Mahmud, Tasiru Mustholahi al Hadits, maktabah
al Ma’arif, cet. 8 1407 H/1987 M.
6. Al Mahmud, Dr. Abdllah bin Sholih bin Sholih, Mauqifu
Ibni Taimiyah Minal Asya’iroh, Maktabah al Rusyd cet. 2, 1416 H/1995 M.
7. Al Qafari, Dr. Nashir Abdullah ‘Aly, At Taqribu Baia Ahli
as-Sunnah wa As Syi’ah, Muasasatu ar Risalah, cet. 5, 1418 H.
8. Salim, Dr. Muhammad Rasyad, Minhaju As-Sunnah Sunnah
Nabawiyah li Ibni Taimiyah dirasah wa tahqiqi, cet 1, 1406 H/1986 M.
9. Al Buraikan, Dr. ibrahim bin Muhammad, Al Madkhal li
Dirasati al Aqidah al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah.
10. Al Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Ma’alimu al Intil;aqah
al Kubra ‘Inda Ahli Sunnah wal Jama’ah, Darul Wathan, cet. 7, 1413 H.
11. Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, jama’ wa tahqiqi
Abdurahman bin Muhammad bin Qasim wa ibnuhu, Muasasatu ar Risalah, 1418 H/1997
M.
12. Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim Musa, Al I’tisham, Maktabatu
ar Riyadh al Haditsah.
13. Ibnu Abil Izz, Ali al Hanafy, Syarhu Aqidah ath
Thahawiyah, tahqiqi Dr. Abdullah AbdulMuhsin at Turki-Syu’aib al arnauth, Darul
Alam lil Kutub, cet.3,1418 H/1997 M.
14. Al Lalikay, Syarhu Ushulu I’tiqadi Ahli Sunnah wal
Jama’ah, Tahqiq Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan, Dar Thayibah.
15. Ibnu Qayim, I’lamu al Muwaqi’in, Ta’liq Thaha Abdurauf
Sa’ad, Darul Jail.
16. Hakamy, Ahkad Hafidz, Ma’ariju al Qabul, Tahqiq Umar
Mahmud Abu Umar, Dar Ibni Qayyim, cet. 1410 H/1990 M.
17. Al Hindawi, Dr, Abdul HamidAhmad Yusuf, Dirasat Haula al
Jama’atu wal Jama’at, Maktabatu at Tabi’in, cet. 2, 1416 H/1996 M.
18. Ash Shawi, Dr. Sholah, Jama’atul Muslimin Mafhumuha wa
Kaifiyatu Luzumiha fi Waqi’inal Muashir, Daru Safwah, cet. 1.
19. Ibnu Taimiyah, Aqidah Wasithiyah Bi Syarhi Muhammad
Khalil alHaras, Jam’iyatu Ihyai at Turats al Islamy.
20. Basyir Bady, Jamal bin Ahmad, Wujubu Luzumi al Jama’ah
wa Tarki at Tafaruq, Darul Wathan, cet. 1, 1412 H.
21. Ar Ruhaily, Dr. Ibrahim bin Amir, Mauqifu Ahli Sunnah
wal Jama’ah min ahlil Ahwa’ wal Bida’.
22. At Tamimi, Dr. Muhammad bin Khalifah, Mu’taqadu Ahli Sunnah
wal Jama’ah fi Tauhidi al Asma’ wa As-Sifat, , Dar al Hariry.
23. Al Aql, Dr. Nashir AbdulKarim, mabahitsu fi Aqidati Ahli
Sunnah wal Jama’ah, Darul Wathan, set.1.
Hasan, Dr. Utsman bin Ali, Manhaju al Istidlal ‘ala Masailil
I’tiqad ‘Inda Ahli Sunnah wal Jama’ah, Maktabatu ar Rusyd, cet2,1413 H/1993M
Sumber: http://www.oocities.org/tau_jih/
0 comments :
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.