Latest Article

Apakah Kita Bisa Memastikan dan Mampu Menjawabnya ?

Sebuah kisah yang pasti akan terjadi pada diri kita tanpa terkecuali. Al Barra’ bin ‘Azib radliyallaahu ‘anhu menceritakan:

Kami keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengantar jenazah seorang dari Anshar. Maka kami pun sampai di pekuburan. (Dan waktu itu) Sedang dibuatkan liang lahat.

Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam duduk, dan kami pun duduk di sekitarnya. (Suasana tenang sekali) Sehingga seakan-akan di atas kepala kami ada burung. Dan di tangan beliau ada kayu yang beliau pukul-pukulkan ke tanah. Lalu beliau mengangkat kepalanya seraya mengatakan:

“Berlindunglah kalian kepada Allah dari adzab kubur.” (dua atau tiga kali)

Kemudian beliau bersabda,

“Sesungguhnya seorang hamba yang beriman, apabila dia berada di akhir kehidupan dunianya, dan hendak menuju Akhirat (yakni saat sakaratul maut), maka turunlah kepadanya Malaikat dari langit.

Wajah mereka putih seolah-olah wajah mereka adalah matahari. Dan mereka membawa kafan dari kafan-kafan Surga dan kapur barus dari kapur barus Surga. Dan mereka duduk sejauh mata memandang darinya.

Kemudian datanglah malaikat maut kepadanya. Lalu dia duduk di sisi kepalanya. Maka dia pun mengatakan,

“Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau menuju ampunan dari Allah dan juga keridha’an dariNya.”

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam melanjutkan,

“Maka mengalirlah (keluar) jiwanya seperti mengalirnya air dari tempat minum. Lalu Malaikat maut pun mengambilnya. Tatkala dia mengambilnya, para malaikat yang sudah menantinya tidak membiarkan ada di tangannya sekejap matapun, sehingga mereka pun mengambilnya dan meletakannya di kafan dan kapur barus yang telah mereka siapkan. Dan keluarlah darinya bau harum seperti harumnya misk yang paling bagus yang ada di muka bumi.”

Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam teruskan,

“Maka mereka pun membawanya naik (ke langit). Dan tidaklah mereka melewati sekumpulan malaikat, melainkan mereka (malaikat) mengatakan, "Siapa pemilik ruh yang bagus ini ?"

Mereka (yang membawanya) pun menjawab, "Fulan bin Fulan"

yakni dengan namanya yang paling bagus yang dahulu dia dinamakan dengannya di dunia.

Sehingga mereka pun sampai ke langit dunia. Lalu mereka pun minta agar dibukakan (pintu) untuknya. Maka dibukalah untuk mereka. Maka mengikutinya pula dari setiap langit para malaikat yang dekat hingga sampai ke langit yang setelahnya. Hingga akhirnya sampai ke langit yang ke tujuh.

Lalu Allah subhanahu wata'ala berfirman,

'Tulislah kitab (catatan amalan) hambaKu di ‘illiyyin dan kembalikanlah dia ke bumi. Sesungguhnya darinyalah Aku menciptakan mereka, dan padanyalah Aku mengembalikan mereka, serta darinyalah Aku akan mengeluarkan mereka pada kali yang lain.' “

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam melanjutkan,

"Maka dikembalikanlah ruhnya pada jasadnya. Lalu datanglah kepadanya dua malaikat dan mendudukkannya. Mereka berdua pun mengatakan, “Siapa Rabbmu ?”

Dia menjawab, “Rabbku adalah Allah.”

Lalu mereka bertanya lagi, “Apa agamamu?”

“Agamaku adalah Islam,” jawabnya.

Mereka kembali bertanya, “Siapa orang ini yang diutus pada kalian?”

Dia mengatakan, “Dia adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.”

“Dari mana kamu tahu?” tanya mereka.

Dia pun menjelaskan, "Aku membaca Kitabullah (Al Quran), lalu aku beriman dengannya dan aku membenarkannya."

Setelah itu, menyerulah sebuah seruan di langit bahwasanya

"Telah benar hambaKu, maka bentangkanlah untuknya (bentangan) dari Surga, dan pakaikanlah (pakaian) dari Surga, serta bukakanlah untuknya pintu menuju Surga."

Bersabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam,

“Maka datanglah kepadanya baunya dan kebagusannya, dan diluaskan untuknya di kuburannya sejauh mata memandang. Lalu datanglah kepadanya seorang yang bagus wajahnya, bagus bajunya, serta wangi baunya. Lantas dia pun berkata,

"Bergembiralah dengan hal yang akan menyenangkanmu, ini adalah hari yang kamu dijanjikan dengannya.”

Dia (ruh) bertanya, “Siapa kamu ? Wajahmu adalah wajah yang datang dengan kebaikan.”

Dia menjawab, “Saya adalah amalanmu yang shalih.”

Lalu dia (ruh) itu pun mengatakan,

“Wahai Rabbku, tegakkanlah Hari Kiamat sehingga aku bisa kembali kepada keluargaku dan hartaku.”


Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Dan seorang hamba yang Kafir, apabila dia akan meninggalkan dunia dan menuju Akhirat (mendekati ajal), maka turun kepadanya malaikat yang hitam wajahnya dan bersama mereka kain yang kasar. Lalu mereka duduk darinya sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut, hingga dia duduk di sisi kepalanya. Dia pun berkata,

“Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan dari Allah dan kemarahanNya.”

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam berkata,

“Maka (ruhnya) tercerai berai di dalam jasadnya. Lalu dia (malaikat maut) menariknya dengan kuat sebagaimana ditariknya besi yang bercabang dari kain wol yang basah. Akhirnya dia pun mengambilnya. Dan malaikat maut telah mengambilnya, maka para malaikat yang hitam wajahnya tidak membiarkan ruh itu ada di tangannya sekejap mata pun, sehingga mereka menjadikannya di kain yang kasar itu.

Dan keluarlah bau busuk seperti bau yang paling busuk yang ada di muka bumi. Lalu mereka pun membawanya naik ke langit. Dan tidaklah mereka melewati sekumpulan malaikat, melainkan mereka bertanya, “Siapa ruh yang busuk ini?”

(malaikat yang membawanya) menjawab, “Ruhnya Fulan bin Fulan”

yakni dengan menyebutkan namanya yang paling jelek yang dahulu dia dinamakan dengannya di dunia.

Akhirnya mereka pun sampai di langit dunia. Lalu mereka meminta untuk dibukakan baginya pintu, namun tidak dibukakan untuknya.”

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membacakan firman Allah subhanahu wata'ala:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا وَٱسْتَكْبَرُوا۟ عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَٰبُ ٱلسَّمَآءِ وَلَا يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ ٱلْجَمَلُ فِى سَمِّ ٱلْخِيَاطِ ۚ

"Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk Surga, hingga unta masuk ke lubang jarum."
(QS Al A'raaf [7]: 40)

Lalu Allah subhanahu wata'ala berfirman,

“Tulislah kitabnya (catatan amalannya) di Sijjin di bumi yang paling bawah.”

Maka ruhnya pun dilempar dengan keras.”

Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wasallam membaca ayat:

وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَتَخْطَفُهُ ٱلطَّيْرُ أَوْ تَهْوِى بِهِ ٱلرِّيحُ فِى مَكَانٍۢ سَحِيقٍۢ

“Barangsiapa mempersekutukan­ sesuatu dengan Allah, maka dia seperti jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
(QS Al Hajj [22]: 31)

Maka kembalilah ruhnya kedalam jasadnya. Dan datanglah dua malaikat, lalu mendudukannya. Mereka berdua mengatakan padanya, “Siapa Rabbmu ?"

Dia menjawab, "Hah hah, aku tidak tahu.”

Mereka bertanya lagi, “Apa agamamu ?”

"Hah hah aku tidak tahu,” jawabnya.

Mereka kembali bertanya padanya, “Siapa orang ini yang diutus kepada kalian?”

Maka dia pun mengatakan, "Hah hah, aku tidak tahu.”

Lalu menyerulah sebuah seruan dari langit,

"Telah dusta dia, maka bentangkanlah baginya hamparan dari Neraka, dan bukakanlah baginya pintu menuju Neraka. Sehingga datanglah kepadanya panas darinya, dan juga racunnya.”

Dan disempitkan baginya kuburannya sehingga saling berhimpitan tulang-tulangnya. Lalu datang kepadanya seorang yang buruk wajahnya dan bajunya, serta busuk baunya. Dia mengatakan,

“Bergembiralah dengan hal yang akan menyusahkanmu, ini adalah hari yang dulu engkau dijanjikan dengannya.”

Maka dia (ruh) bertanya, “Siapa kamu ? Wajahmu seperti wajah orang yang datang dengan keburukan.”

Dia pun menjawab, “Aku adalah amalanmu yang buruk.”

Lalu dia (ruh) mengatakan, "Wahai Rabbku, jangan Engkau tegakkan Hari Kiamat.”

[HR. Imam Ahmad no. 18557 dari Al Barra’ bin ‘Azib]

Apakah kita bisa memastikan ruh kita akan diperlakukan sebagaimana ruh orang-orang Shalih & mampu menjawab pertanyaan kubur (fitnah kubur) tersebut? Kita memohon kepada Allah agar saat ruh kita terlepas dari jasad, kita disambut dengan seruan,

ُ فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى ُ وَٱدْخُلِى جَنَّتِى ُ ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةًۭ مَّرْضِيَّةًۭ  ُ يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّة

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam surgaKu.”
(QS Al Fajr [89]: 27 – 30)

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan Rasul) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman.
Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.
(QS. Ali Imran [3]: 193)


للَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ , وَمِنْ عَذَابِ اَلْقَبْرِ , وَمِنْ فِتْنَةِ اَلْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ , وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ اَلْمَسِيحِ اَلدَّجَّالِ

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari adzab Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari keburukan fitnah Al Masih Ad Dajjal.
[Muttafaqun 'alaih]

wallaahu a’lam

Nasehat dan Syai’r Mengharukan Imam Asy Syafi’iy Menjelang Wafat

Imam Al Muzany rahimahullah, salah seorang murid Imam Asy Syafi’iy rahimahullah, pernah bercerita:

“Aku menemui Imam Asy Syafi’iy menjelang beliau wafat, lalu kubertanya,

‘Bagaimana keadaanmu pada pagi ini, wahai Ustadzku?’

Beliau menjawab,

‘Pagi ini aku akan melakukan perjalanan meninggalkan dunia, akan berpisah dengan kawan-kawanku, akan meneguk gelas kematian, akan menghadap kepada Allah dan akan menjumpai kejelekan amalanku.
Aku tidak tahu apakah diriku berjalan ke Surga sehingga aku memberinya ucapan kegembiraan, atau berjalan ke Neraka sehingga aku menghibur kesedihannya.’

Aku berkata, ‘Nasihatilah aku.’

Beliau berpesan kepadaku,

‘Bertakwalah kepada Allah, permisalkanlah akhirat dalam hatimu, jadikanlah kematian antara kedua matamu, dan janganlah lupa bahwa engkau akan berdiri di hadapan Allah.
Takutlah terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, jauhilah segalah hal yang Dia haramkan, laksanakanlah segala perkara yang Dia wajibkan, dan hendaknya engkau bersama Allah di manapun engkau berada.
Janganlah sekali-kali engkau menganggap kecil nikmat Allah kepadamu -walaupun nikmat itu sedikit- dan balaslah dengan bersyukur.
Jadikanlah diammu sebagai tafakkur, pembicaraanmu sebagai dzikir, dan pandanganmu sebagai pelajaran.
Maafkanlah orang yang menzhalimimu, sambunglah (silaturrahmi dari) orang yang memutus silaturahmi terhadapmu, berbuat baiklah kepada siapapun yang berbuat jelek kepadamu, bersabarlah terhadap segala musibah, dan berlindunglah kepada Allah dari api Neraka dengan ketaqwaan.’

Aku berkata, ‘Tambahkanlah (nasihatmu) kepadaku.’

Beliau melanjutkan,

‘Hendaknya kejujuran adalah lisanmu, menepati janji adalah tiang tonggakmu, rahmat adalah buahmu, kesyukuran sebagai thaharahmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang adalah perhiasanmu, kecerdikan adalah daya tangkapmu, ketaatan sebagai mata percaharianmu, ridha sebagai amanahmu, pemahaman adalah penglihatanmu, rasa harapan adalah kesabaranmu, rasa takut sebagai pakaianmu, shadaqah sebagai pelindungmu, dan zakat sebagai bentengmu.
Jadikanlah rasa malu sebagai pemimpinmu, sifat tenang sebagai menterimu, tawakkal sebagai baju tamengmu, dunia sebagai penjaramu, dan kefakiran sebagai pembaringanmu.
Jadikanlah kebenaran sebagai pemandumu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Al-Qur`an sebagai juru bicaramu dengan kejelasan, serta jadikanlah Allah sebagai Penyejukmu. Barangsiapa yang bersifat seperti ini, Surga adalah tempat tinggalnya.’


Kemudian, Imam Asy Syafi’iy mengangkat pandangannya ke arah langit seraya menghadirkan susunan ta’bir. Lalu beliau bersya’ir,

‘KepadaMu,wahai Ilah segenap makhluk, wahai Pemilik anugerah dan kebaikan
kuangkat harapanku, walaupun aku ini seorang yang bergelimang dosa
Tatkala hati telah membatu dan sempit segala jalanku
kujadikan harapan pengampunanMu sebagai tangga bagiku
Kurasa dosaku teramatlah besar, tetapi tatkala dosa-dosa itu
kubandingkan dengan maafMu, wahai Rabbku, ternyata maafMu lebihlah besar
Terus menerus Engkau Maha Pemaaf dosa,
dan terus menerus Engkau memberi derma dan maaf sebagai nikmat dan pemuliaan
Andaikata bukan karenaMu, tidak seorang pun ahli ibadah yang tersesat oleh Iblis
bagaimana tidak, sedang dia pernah menyesatkan kesayanganMu, Adam
Kalaulah Engkau memaafkan aku, Engkau telah memaafkan
seorang yang congkak, zhalim lagi sewenang-wenang yang masih terus berbuat dosa
Andaikata Engkau menyiksaku, tidaklah aku berputus asa,
walaupun diriku telah Engkau masukkan ke dalam Jahannam lantaran dosaku
Dosaku sangatlah besar, dahulu dan sekarang,
namun maafMu, wahai Maha Pemaaf, lebih tinggi dan lebih besar.’ ”

[Tarikh Ibnu Asakir Juz 51 hlm. 430-431]

Kriteria Memilih Calon Istri: Kualitas Agama atau Kecantikan Dulu ?

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaah memberikan tips yang brillian tentang memilih calon istri dan sekaligus menunjukkan kedalaman ilmu fiqh beliau:

إذَا خَطَبَ رَجُلٌ امْرَأَةً سَأَلَ عَنْ جَمَالِهَا أَوَّلًا فَإِنْ حُمِدَ : سَأَلَ عَنْ دِينِهَا .فَإِنْ حُمِدَ : تَزَوَّجَ ، وَإِنْ لَمْ يُحْمَدْ : يَكُونُ رَدُّهُ لِأَجْلِ الدِّينِ. لَا يَسْأَلُ أَوَّلًا عَنْ الدِّينِ ، فَإِنْ حُمِدَ سَأَلَ عَنْ الْجَمَالِ فَإِنْ لَمْ يُحْمَدْ رَدَّهَا .فَيَكُونُ رَدُّهُ لِلْجَمَالِ لَا لِلدِّينِ 

"Apabila seorang lelaki ingin melamar seorang perempuan, maka tanyakanlah dulu tentang kecantikannya. Jika wanita tersebut dipuji kecantikannya, baru kemudian tanya tentang agamanya. Jika (agamanya) bagus maka ia nikahi. Tapi jika tidak bagus, maka ia menolak wanita tersebut karena agamanya (yang tidak bagus).
Dan janganlah bertanya tentang agamanya terlebih dahulu, jika (agamanya) bagus, kemudian baru ia bertanya tentang kecantikannya. Jika ternyata tidak cantik, kemudian ia menolaknya, maka ini berarti penolakannya adalah karena kecantikan bukan karena agama." [1]

Pernyataan Imam Ahmad ini sesuai dengan hadits Nabi shallallaahu 'alahi wasallam ketika ada seorang shahabat yang bertanya:

"Wanita (istri) terbaik itu yang seperti apa?"

Maka beliau menjawab:

الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ 


"Yaitu wanita (istri) yang menyenangkannya apabila dilihat dan mentaatinya apabila diperintah" [2]

Sementara itu pernyataan Imam Ahmad rahimahullaah tadi juga tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِـهَا، وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِـهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ


"Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, & karena agamanya. Dan pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung." [3]


Namun keteladanan yang mulia juga ditunjukkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dalam menyikapi hal sebaliknya.

Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad lebih memilih wanita yang buta sebelah, daripada saudari wanita ini yang sehat dan cantik. Ketika beliau ditawari (artinya beliau sudah tahu kondisi fisik dan kecantikan kedua wanita tadi, dan ini tidak bertentangan dengan pernyataan beliau di awal tadi), Imam Ahmad bertanya:

"Siapa yang lebih pandai (termasuk dalam urusan agama) ?"

Dijawab: "Yang buta."

Kemudian Imam Ahmad mengatakan: "Nikahkan aku dengannya."

Dan pemilihan beliau ini juga dalam rangka mengamalkan hadits di atas yang menganjurkan agar memilih istri karena agamanya.

wallaahu ta’ala a'lam.


Catatan kaki:

[1] Al Inshaf 12/206
[2] HR. Imam An Nasa'i no.3131 dishahihkan Syaikh Al Albani rahimahullah
[3] HR. Imam Al Bukhari no. 5090

Curhatan Akhwat (Mantan) Aktivis Demonstrasi

Berikut adalah penuturan seorang akhwat Aktivis Dakwah Kampus (ADK) yang pernah ikut demonstrasi (demo). Semoga pernyataan ini dapat menjadi renungan bagi para ADK akan bahaya keikusertaan akhwat dalam aksi-aksi demonstrasi.

“ana akhwat, aktivis demo, bagi ana demo adalah jihad, perjuangan menegakkan syariat, kebenaran, melawan kebathilan, sarana yang paling oke untuk amar am’ruf nahyi munkar pokoke hidup demo. meskipun gara-gara demo bolos kuliah, siap muka terpanggang matahari dan ummahatnya pun rela menggendong bayinya dengan berpeluh panas bahkan yang hamilpun bela-belain untuk demo. bahkan ana hampir mati ditabrak mobil TNI saat demo waktu kuliah.


Tapi apa hasil dari demo:

banyak terjadi ikhtilat itu JELAS, bukan hanya ikhwan jadi korlap, akhwat juga. bukan hanya ikhwan yang teriak yel2 sambil nyanyi! akhwat juga! bukan hanya ikhwan melompat2 dan teriak2, akhwat juga! sehingga SUDAH LAZIM terjadi CBSA (cinta bersemi saat aksi), ini rahasia umum gan!

TERJADI BETUL2 TERJADI IKHWAN tidak ada pemisah lagi dengan akhwat, BERCAMPUR-BAUR DAN BERDESAK2KAN. APAKAH INI MASIH DIBELA SEBUAH HAL YANG DARURAT DAN JIHAD???

ANA juga belajar politik dari SMU, siapa bilang DEMOKRASI DARI ISLAM? Aristoteleslah orang pertama memperkenalkan demokrasi!

dalam demokrasi yang benar adalah suara terbanyak sekalipun salah. dan jelas orang bodoh lebih banyak dari orang pintar. orang berpendidikan lebih sedikit dari yang tidak sekolah. orang paham agama lebih sedikit dari yang awam. maka demokrasi memenangkan siapa? pengikut Allah atau pengikut syaithan???

sekarang kita lihat teman2 kita yang katanya berjuang menegakkan syariah melalui demokrasi? teman2 kita yang mana sudah banyak menjadi aleg, pemimpin daerah namun perbaikan apa yang sudah dibuat???

sungguuh yahng terjadi bukanlah kita memperbaiki sistem namun larut dalam sistem dan diatur oleh sistem. ketika ada idealisme semua itu buyar dan bubar karena sekali lagi berlutut di hadapan demokrasi, tak sanggup berkata dan berbuat apapun ketika suara terbanyaklah yang menjadi dasar mengambil kebijakan.”

Jika saja untuk keluar rumah demi menuntut ilmu syar’i diperbolehkan bagi muslimah dengan beberapa persyaratan yang ketat dan termasuk dlarurat (bila tetap di rumah, maka kewajiban menuntut ilmu syar’i tidak dilaksanakan), maka alasan dlarurat apa dan persyaratan ketat bagaimana yang dipakai untuk memperbolehkan muslimah mengikuti aksi-aksi demonstrasi ?

wallaahu musta’an


Selamat Datang Pahala Tanpa Rasa Lelah



Rasulullaah shallalaahu 'alaihi wasallam bersabda :

طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ 

"Beruntunglah orang yang disibukkan dengan mencari aib (kekurangan) dirinya sehingga tidak sempat mencari-cari kesalahan orang-orang lain." 

[HR. Al Bazzar dengan sanad hasan dalam Kitab Subulus Salam, Hilyatul Auliya', Syu'abul Iman lil Baihaqi dan lainnya]


Imam Asy Syafi'i rahimahullaah berkata :

لو أصبت تسعا وتسعين وأخطأت واحدة لترك الناس ما أصبت وأسرّوها وأعلنوا ما أخطأ فانفض عنك غبار الناس و عش سعيدا

"Jika engkau melakukan 99 perbuatan baik (benar) lalu engkau melakukan 1 kesalahan, pastilah manusia akan meninggalkan 99 kebaikan yang telah engkau lakukan lalu menyembunyikannya, tetapi mereka justru mengungkapkan dan mengumumkan 1 kesalahanmu itu.
Maka jauhilah debu-debu manusia dan hiduplah dengan kehidupan yang bahagia."


Imam Asy Sya'by rahimahullaah juga berkata :

لو أصبت تسعاً وتسعين وأخطأت واحدة لأخذوا الواحدة وتركوا التسع والتسعين

"Jika engkau melakukan 99 perbuatan baik (benar) lalu engkau melakukan 1 kesalahan, pastilah manusia akan memilih 1 kesalahanmu dan meninggalkan (tidak mempedulikan) 99 kebaikanmu."

[Al Bashair wad Dakha'ir I/350]


Begitulah tabiat kebanyakan manusia, maka jika ada yang mencari-cari kesalahan kita lalu menfitnah kita, katakan saja:

مرحبا بالثواب دون التعب

“Selamat datang pahala tanpa harus berletih-lelah”

wallaahu ta'ala a'lam


Sumber:

Disadur dari status FB Ustadz Fuad Al Hazimi hafizhahullaah

10 Kaidah Penting dalam Dakwah

Dakwah adalah amalan yang mulia dan sesuatu yang mulia harus disampaikan dengan cara yang mulia yakni tidak melanggar syari’at dan ittibaa'us-sunnah (mengikuti sunnah). Berikut ini adalah 10 kaidah penting dakwah yang harus diperhatikan oleh para du’at:


1.       Al Qudwah Qabla Ad Da’wah
(Menjadi Teladan Sebelum Berdakwah)

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri…”
(QS Al Baqarah: 44)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ۝ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan ? Sungguh besar murka di sisi Allah bila kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan.”
(QS Ash Shaff: 2-3)

Pepatah Arab mengatakan

“Lisanul Hal Afsahu Min Lisanil Maqal”
(Bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa lisan)

2.       At Ta’lif Qabla At Ta’rif
(Mengikat Hati Sebelum Mengenalkan)

Objek dakwah (mad’u) adalah manusia yang sikap dan perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah penentu fisik untuk dapat bergerak merespon pihak luar.

3.       At Ta’rif Qabla At Taklif
(Mengenalkan Sebelum Memberi Beban/Amanah)

Kesalahan dakwah terbesar dalah membebankan suatu amalan kepada mad’u sebelum diajarkan dengan baik. Baik beban suatu amal yang hukumnya wajib ataupun sunnah. Sebab dakwah itu tegak di atas landasan ilmu dan dalil yang jelas bukan doktrin-doktrin yang membabi buta.

4.       At Tadarruj fi At Taklif
(Bertahap Dalam Membebankan Suatu Amal)

Manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda, baik dari sudut pandang latar belakang pendidikan maupun kondisi sosial yang melahirkannya. Oleh karena itu, dakwah kepada manusia dengan ragam tipologinya tersebut tentu mengonsekuensikan perbedaan dakwah yang dilakukan.

5.       At Taysir Laa At Ta’sir
(Memudahkan Bukan Menyulitkan)

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”
(QS Al Baqarah: 185)

6.       Al Ushul Qabla Al Furu’
(Perkara Pokok Sebelum Perkara Cabang)

Da’i yang tidak memahami masalah-masalah ushul dan furu’ ini akan menjadikan dakwah tidak lagi menuai maslahat, bahkan akan melahirkan kontraproduktif bagi dakwah itu sendiri. Hal ini dikarenakan perkara ushul harus didahulukan daripada furu’ sedangkan furu’ akan dapat dilaksanakan dengan baik dan benar ketika berpijak pada ushul yang baik dan benar pula.

7.       At Targhib Qabla At Tarhib
(Memberi Harapan Sebelum Ancaman)

Seorang da’i harus senantiasa memberikan semangat kepada mad’unya agar dapat beramal. Saat mad’u melakukan dosa, ia harus diberi harapan besar bahwa Allah selalu membuka pintu taubat bagi siapa saja. Dengan cara ini dakwah (In syaa’Allaah) akan menuai hasil yang diharapkan.

8.       At Tafhim Laa At Talqin
(Memberi Pemahaman Bukan Mendikte)

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS Al Israa’: 36)

9.       At Tarbiyah Laa At Ta’riyah
(Mendidik Bukan Menelanjangi)

Menjaga kehormatan adalah termasuk tujuan syari’at Islam. Oleh karena itu, dakwah harus berupaya memberikan didikan yang baik kepada mad’unya.

10.   Tilmidzu Imam Laa Tilmidzu Kitab
(Murid Guru Bukan Murid Buku)

Sebuah pepatah mengatakan

“Guru tanpa buku akan melahirkan kejumudan sedangkan buku tanpa guru akan melahirkan kesesatan”


wallaahu a'lam bish-shawwab

Maraji’:

Kitab Ad Da’wah: Al Qawaa’id wal Ushul karya Syaikh Jum’ah Amin Abdul ‘Aziz.
Disarikan oleh Ustadz Rd. Laili Al Fadhli hafizhahullaah dan disampaikan dalam sebuah ta’lim MPI Bandung.

Menanggapi Pernyataan "Yang Penting Kan Niatnya ?"


Bismillaah…

Mungkin banyak dari kita pernah mendengar pernyataan orang-orang seperti ini: "Ah, yang penting kan niatnya", "Kan niatnya baik ?", "Kan tergantung niat ?", "Kan innamal a’maalu bin-niat ?" dsb pada perbuatan mereka yang kita anggap merupakan bentuk maksiat atau dosa. Atau bahkan kita sendiri malah “keblinger” ikut-ikutan memakai alasan seperti itu saat kemaksiatan kita (na’uudzubillaah) diingkari oleh orang lain.

Jadi, bagaimana menyikapi syubhat (perkara yang samar) ini ?

Imam Abu Hamid Al Ghazali (Imam Al Ghazali) rahimahullaah ta'aala berkata seraya menjelaskan syubhat konyol tersebut:

"Ketahuilah bahwasanya perbuatan itu meskipun bermacam-macam dan banyak sekali seperti amalan, perkataan, gerakan, diam, usaha, menolak, berfikir, berdzikir dan lain-lain yang tidak terhitung, namun semua itu hanya tergolong tiga macam saja: kemaksiatan, ketaatan (ibadah) dan mubahat (hal-hal yang diperbolehkan).

Bagian pertama: Kemaksiatan

Kemaksiatan ini tidak akan pernah berubah status meskipun niatnya berbeda-beda. Maka dalam hal ini tidak layak orang bodoh memahami keumuman hadits yang berbunyi:

"Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya."

Lalu ia menyangka bahwa maksiat itu bisa berubah menjadi ketaatan sesuai dengan niatnya. Sebagaimana orang yang melakukan ghibah terhadap orang lain untuk menjaga hati seseorang, atau memberi makan orang fakir dengan menggunakan harta orang lain atau membangun sekolahan atau masjid atau ribath dengan menggunakan harta haram. Ia bermaksud baik….

(sampai beliau berkata)

Ini semuanya adalah kebodohan. Niat tidak bisa mengubah kezhaliman, permusuhan dan kemaksiatan. Bahkan maksud baik dalam perbuatan jeleknya – yang menyelisihi syari’at – merupakan bentuk kejahatan tersendiri. Jika ia mengetahuinya maka ia adalah pembangkang syari’at. Dan jika ia tidak mengetahuinya maka dia bermaksiat atas ketidaktahuannya, karena menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan kebaikan seluruhnya hanya dapat diketahui melalui syari’at.

Bagaimana mungkin keburukan bisa berubah menjadi kebaikan?

Bahkan orang yang mengembangkan pendapat semacam ini ia menyimpan syahwat dan menyembunyikan hawa nafsu...

(hingga beliau mengatakan)

Intinya, sesungguhnya orang yang bermaksud baik dengan berbuat maksiat dan ia beralasan tidak tahu, maka tidak diterima alasannya kecuali orang yang baru masuk Islam dan tidak mempunyai kesempatan untuk belajar. Allah berfirman:

"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui."
(QS. Al Anbiyaa' :7)

(lalu beliau berkata)

Dengan demikian maka sabda Nabi shallalaahu 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya." berlaku khusus pada amalan yang berupa ketaatan dan mubahat (hal-hal yang diperbolehkan) dan tidak berlaku pada kemaksiatan. Karena ketaatan bisa berubah menjadi kemaksiatan sesuai dengan niatnya. Dan hal-hal yang mubah bisa berubah menjadi maksiat atau ketaatan sesuai dengan niat.

Adapun maksiat pada asalnya tidak bisa berubah menjadi ketaatan walaupun dengan niat taat. Ya, niat yang buruk itu bisa memperbesar dosa dan memperberat siksa – sebagaimana yang kami sebutkan dalam kitab Taubat.

Bagian kedua: Ketaatan

Ketaatan ini, sah dan keutamaannya tergantung pada niat. Namun pada asalnya hendaknya ia dilakukan atas niat beribadah kepada Allah, bukan kepada yang lainnya. Jika ia berniat riya' maka ketaatan itu berubah menjadi maksiat.

Adapun berlipatnya keutamaan dapat diraih dengan banyaknya niat baik. Sesungguhnya satu kebaikan dapat diniatkan untuk banyak kebaikan, lalu ia akan mendapatkan pahala pada setiap niatnya…

Karena setiap satu niat mendapatkan satu kebaikan dan setiap satu kebaikan akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.

(sampai beliau mengatakan)

Bagian ketiga: Hal-hal yang mubah (Mubahat)

Dan tidaklah satu hal yang mubahpun kecuali dapat mengandung satu niat atau lebih yang bisa mengubahnya menjadi ibadah kebaikan dan dapat meraih derajat yang tinggi.

Maka alangkah ruginya orang yang melalaikannya dan melakukannya sebagaimana binatang yang tidak punya kepentingan sama sekali…"

[Ihya' Ulumuddin IV/388-391]


Maka, jelaslah bahwa segala bentuk kemaksiatan (dosa) terlebih kemaksiatan terbesar yakni kekufuran dan kesyirikan tidak serta merta menjadi halal (boleh) dengan alasan niat baik atau tulus, akan tetapi harus dengan dalil syar’i yang menjelaskannya.

Contoh sederhana:

Daging babi atau bangkai haram dimakan. Maka niat baik - misalkan ketika ada jamuan makan, lalu sang tamu berkata "Ah, aku makan saja (daging babi) ini, demi menghormati tuan rumah. Bukannya menghormati tuan rumah adalah kebaikan ?"– tidak akan dan tidak akan pernah menjadikan perbuatan ini menjadi halal.

Namun, daging babi hanya boleh dimakan ketika dalam keadaaan darurat (antara hidup dan mati) – misalkan tersesat di hutan dan hanya ada binatang babi. Kalau tidak menyembelih dan memakannya, maka akan mati kelaparan - sebagaimana ada dalil syar’i yang menjelaskannya:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍۢ وَلَا عَادٍۢ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ

"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS Al Baqarah [2]: 173)


Wallaahu ta'aala a'lam…
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. The Last Smile - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger