Bismillaah…
Mungkin banyak dari kita pernah mendengar pernyataan orang-orang seperti ini: "Ah, yang penting kan niatnya", "Kan niatnya baik ?", "Kan tergantung niat ?", "Kan innamal a’maalu bin-niat ?" dsb pada
perbuatan mereka yang kita anggap merupakan bentuk maksiat atau dosa. Atau bahkan kita sendiri malah “keblinger” ikut-ikutan memakai alasan seperti itu saat kemaksiatan kita
(na’uudzubillaah) diingkari oleh orang lain.
Jadi, bagaimana menyikapi syubhat (perkara yang samar) ini ?
Imam Abu Hamid Al Ghazali (Imam Al Ghazali) rahimahullaah ta'aala berkata seraya menjelaskan syubhat konyol tersebut:
"Ketahuilah bahwasanya
perbuatan itu meskipun bermacam-macam dan banyak sekali seperti amalan,
perkataan, gerakan, diam, usaha, menolak, berfikir, berdzikir dan lain-lain
yang tidak terhitung, namun semua itu hanya tergolong tiga macam saja: kemaksiatan, ketaatan
(ibadah) dan mubahat (hal-hal yang diperbolehkan).
Bagian pertama: Kemaksiatan
Kemaksiatan ini tidak akan
pernah berubah status meskipun niatnya berbeda-beda. Maka dalam hal ini
tidak layak orang bodoh memahami keumuman hadits yang berbunyi:
"Sesungguhnya amalan itu
tergantung dengan niatnya."
Lalu ia menyangka bahwa maksiat
itu bisa berubah menjadi ketaatan sesuai dengan niatnya. Sebagaimana orang yang
melakukan ghibah terhadap orang lain untuk menjaga hati seseorang, atau memberi
makan orang fakir dengan menggunakan harta orang lain atau membangun sekolahan
atau masjid atau ribath dengan menggunakan harta haram. Ia bermaksud baik….
(sampai beliau berkata)
Ini semuanya adalah kebodohan.
Niat tidak bisa mengubah kezhaliman, permusuhan dan kemaksiatan. Bahkan maksud
baik dalam perbuatan jeleknya – yang menyelisihi syari’at – merupakan bentuk
kejahatan tersendiri. Jika ia mengetahuinya maka ia adalah pembangkang
syari’at. Dan jika ia tidak mengetahuinya maka dia bermaksiat atas ketidaktahuannya, karena menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan kebaikan seluruhnya hanya dapat diketahui melalui syari’at.
Bagaimana mungkin keburukan bisa
berubah menjadi kebaikan?
Bahkan orang yang mengembangkan
pendapat semacam ini ia menyimpan syahwat dan menyembunyikan hawa nafsu...
(hingga beliau mengatakan)
Intinya, sesungguhnya orang yang
bermaksud baik dengan berbuat maksiat dan ia beralasan tidak tahu, maka tidak diterima alasannya kecuali orang yang baru masuk Islam dan tidak
mempunyai kesempatan untuk belajar. Allah berfirman:
"Maka tanyakanlah olehmu
kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui."
(QS. Al Anbiyaa' :7)
(lalu beliau berkata)
Dengan demikian maka sabda Nabi shallalaahu
'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya amal
perbuatan itu tergantung dengan niatnya." berlaku khusus pada amalan yang berupa
ketaatan dan mubahat (hal-hal yang diperbolehkan) dan tidak berlaku pada
kemaksiatan. Karena ketaatan bisa berubah menjadi kemaksiatan sesuai dengan
niatnya. Dan hal-hal yang mubah bisa berubah menjadi maksiat atau ketaatan
sesuai dengan niat.
Adapun maksiat pada asalnya tidak
bisa berubah menjadi ketaatan walaupun dengan niat taat. Ya, niat yang buruk
itu bisa memperbesar dosa dan memperberat siksa – sebagaimana yang kami
sebutkan dalam kitab Taubat.
Bagian kedua: Ketaatan
Ketaatan ini, sah dan
keutamaannya tergantung pada niat. Namun pada asalnya hendaknya ia dilakukan
atas niat beribadah kepada Allah, bukan kepada yang lainnya. Jika ia
berniat riya' maka ketaatan itu berubah menjadi maksiat.
Adapun berlipatnya keutamaan
dapat diraih dengan banyaknya niat baik. Sesungguhnya satu kebaikan dapat
diniatkan untuk banyak kebaikan, lalu ia akan mendapatkan pahala pada setiap
niatnya…
Karena setiap satu niat
mendapatkan satu kebaikan dan setiap satu kebaikan akan dilipat gandakan
sepuluh kali lipat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.
(sampai beliau mengatakan)
Bagian ketiga: Hal-hal yang mubah (Mubahat)
Dan tidaklah satu hal yang
mubahpun kecuali dapat mengandung satu niat atau lebih yang bisa mengubahnya
menjadi ibadah kebaikan dan dapat meraih derajat yang tinggi.
Maka alangkah ruginya orang yang
melalaikannya dan melakukannya sebagaimana binatang yang tidak punya
kepentingan sama sekali…"
[Ihya' Ulumuddin IV/388-391]
Maka, jelaslah bahwa segala
bentuk kemaksiatan (dosa) terlebih kemaksiatan terbesar yakni kekufuran dan kesyirikan tidak serta merta menjadi halal (boleh) dengan alasan niat
baik atau tulus, akan tetapi harus dengan dalil syar’i yang menjelaskannya.
Contoh sederhana:
Daging babi atau bangkai haram dimakan.
Maka niat baik - misalkan ketika ada jamuan makan, lalu sang tamu berkata "Ah, aku
makan saja (daging babi) ini, demi menghormati tuan rumah. Bukannya menghormati
tuan rumah adalah kebaikan ?"– tidak akan dan tidak akan pernah menjadikan
perbuatan ini menjadi halal.
Namun, daging babi hanya boleh
dimakan ketika dalam keadaaan darurat (antara hidup dan mati) – misalkan tersesat di
hutan dan hanya ada binatang babi. Kalau tidak menyembelih dan memakannya, maka
akan mati kelaparan - sebagaimana ada dalil syar’i yang menjelaskannya:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ
وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍۢ وَلَا عَادٍۢ
فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ
"Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang."
(QS Al Baqarah [2]: 173)
Wallaahu ta'aala a'lam…
0 comments :
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.