Latest Article

10 Kaidah Penting dalam Dakwah

Dakwah adalah amalan yang mulia dan sesuatu yang mulia harus disampaikan dengan cara yang mulia yakni tidak melanggar syari’at dan ittibaa'us-sunnah (mengikuti sunnah). Berikut ini adalah 10 kaidah penting dakwah yang harus diperhatikan oleh para du’at:


1.       Al Qudwah Qabla Ad Da’wah
(Menjadi Teladan Sebelum Berdakwah)

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri…”
(QS Al Baqarah: 44)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ۝ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan ? Sungguh besar murka di sisi Allah bila kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan.”
(QS Ash Shaff: 2-3)

Pepatah Arab mengatakan

“Lisanul Hal Afsahu Min Lisanil Maqal”
(Bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa lisan)

2.       At Ta’lif Qabla At Ta’rif
(Mengikat Hati Sebelum Mengenalkan)

Objek dakwah (mad’u) adalah manusia yang sikap dan perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah penentu fisik untuk dapat bergerak merespon pihak luar.

3.       At Ta’rif Qabla At Taklif
(Mengenalkan Sebelum Memberi Beban/Amanah)

Kesalahan dakwah terbesar dalah membebankan suatu amalan kepada mad’u sebelum diajarkan dengan baik. Baik beban suatu amal yang hukumnya wajib ataupun sunnah. Sebab dakwah itu tegak di atas landasan ilmu dan dalil yang jelas bukan doktrin-doktrin yang membabi buta.

4.       At Tadarruj fi At Taklif
(Bertahap Dalam Membebankan Suatu Amal)

Manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda, baik dari sudut pandang latar belakang pendidikan maupun kondisi sosial yang melahirkannya. Oleh karena itu, dakwah kepada manusia dengan ragam tipologinya tersebut tentu mengonsekuensikan perbedaan dakwah yang dilakukan.

5.       At Taysir Laa At Ta’sir
(Memudahkan Bukan Menyulitkan)

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”
(QS Al Baqarah: 185)

6.       Al Ushul Qabla Al Furu’
(Perkara Pokok Sebelum Perkara Cabang)

Da’i yang tidak memahami masalah-masalah ushul dan furu’ ini akan menjadikan dakwah tidak lagi menuai maslahat, bahkan akan melahirkan kontraproduktif bagi dakwah itu sendiri. Hal ini dikarenakan perkara ushul harus didahulukan daripada furu’ sedangkan furu’ akan dapat dilaksanakan dengan baik dan benar ketika berpijak pada ushul yang baik dan benar pula.

7.       At Targhib Qabla At Tarhib
(Memberi Harapan Sebelum Ancaman)

Seorang da’i harus senantiasa memberikan semangat kepada mad’unya agar dapat beramal. Saat mad’u melakukan dosa, ia harus diberi harapan besar bahwa Allah selalu membuka pintu taubat bagi siapa saja. Dengan cara ini dakwah (In syaa’Allaah) akan menuai hasil yang diharapkan.

8.       At Tafhim Laa At Talqin
(Memberi Pemahaman Bukan Mendikte)

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS Al Israa’: 36)

9.       At Tarbiyah Laa At Ta’riyah
(Mendidik Bukan Menelanjangi)

Menjaga kehormatan adalah termasuk tujuan syari’at Islam. Oleh karena itu, dakwah harus berupaya memberikan didikan yang baik kepada mad’unya.

10.   Tilmidzu Imam Laa Tilmidzu Kitab
(Murid Guru Bukan Murid Buku)

Sebuah pepatah mengatakan

“Guru tanpa buku akan melahirkan kejumudan sedangkan buku tanpa guru akan melahirkan kesesatan”


wallaahu a'lam bish-shawwab

Maraji’:

Kitab Ad Da’wah: Al Qawaa’id wal Ushul karya Syaikh Jum’ah Amin Abdul ‘Aziz.
Disarikan oleh Ustadz Rd. Laili Al Fadhli hafizhahullaah dan disampaikan dalam sebuah ta’lim MPI Bandung.

Menanggapi Pernyataan "Yang Penting Kan Niatnya ?"


Bismillaah…

Mungkin banyak dari kita pernah mendengar pernyataan orang-orang seperti ini: "Ah, yang penting kan niatnya", "Kan niatnya baik ?", "Kan tergantung niat ?", "Kan innamal a’maalu bin-niat ?" dsb pada perbuatan mereka yang kita anggap merupakan bentuk maksiat atau dosa. Atau bahkan kita sendiri malah “keblinger” ikut-ikutan memakai alasan seperti itu saat kemaksiatan kita (na’uudzubillaah) diingkari oleh orang lain.

Jadi, bagaimana menyikapi syubhat (perkara yang samar) ini ?

Imam Abu Hamid Al Ghazali (Imam Al Ghazali) rahimahullaah ta'aala berkata seraya menjelaskan syubhat konyol tersebut:

"Ketahuilah bahwasanya perbuatan itu meskipun bermacam-macam dan banyak sekali seperti amalan, perkataan, gerakan, diam, usaha, menolak, berfikir, berdzikir dan lain-lain yang tidak terhitung, namun semua itu hanya tergolong tiga macam saja: kemaksiatan, ketaatan (ibadah) dan mubahat (hal-hal yang diperbolehkan).

Bagian pertama: Kemaksiatan

Kemaksiatan ini tidak akan pernah berubah status meskipun niatnya berbeda-beda. Maka dalam hal ini tidak layak orang bodoh memahami keumuman hadits yang berbunyi:

"Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya."

Lalu ia menyangka bahwa maksiat itu bisa berubah menjadi ketaatan sesuai dengan niatnya. Sebagaimana orang yang melakukan ghibah terhadap orang lain untuk menjaga hati seseorang, atau memberi makan orang fakir dengan menggunakan harta orang lain atau membangun sekolahan atau masjid atau ribath dengan menggunakan harta haram. Ia bermaksud baik….

(sampai beliau berkata)

Ini semuanya adalah kebodohan. Niat tidak bisa mengubah kezhaliman, permusuhan dan kemaksiatan. Bahkan maksud baik dalam perbuatan jeleknya – yang menyelisihi syari’at – merupakan bentuk kejahatan tersendiri. Jika ia mengetahuinya maka ia adalah pembangkang syari’at. Dan jika ia tidak mengetahuinya maka dia bermaksiat atas ketidaktahuannya, karena menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan kebaikan seluruhnya hanya dapat diketahui melalui syari’at.

Bagaimana mungkin keburukan bisa berubah menjadi kebaikan?

Bahkan orang yang mengembangkan pendapat semacam ini ia menyimpan syahwat dan menyembunyikan hawa nafsu...

(hingga beliau mengatakan)

Intinya, sesungguhnya orang yang bermaksud baik dengan berbuat maksiat dan ia beralasan tidak tahu, maka tidak diterima alasannya kecuali orang yang baru masuk Islam dan tidak mempunyai kesempatan untuk belajar. Allah berfirman:

"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui."
(QS. Al Anbiyaa' :7)

(lalu beliau berkata)

Dengan demikian maka sabda Nabi shallalaahu 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya." berlaku khusus pada amalan yang berupa ketaatan dan mubahat (hal-hal yang diperbolehkan) dan tidak berlaku pada kemaksiatan. Karena ketaatan bisa berubah menjadi kemaksiatan sesuai dengan niatnya. Dan hal-hal yang mubah bisa berubah menjadi maksiat atau ketaatan sesuai dengan niat.

Adapun maksiat pada asalnya tidak bisa berubah menjadi ketaatan walaupun dengan niat taat. Ya, niat yang buruk itu bisa memperbesar dosa dan memperberat siksa – sebagaimana yang kami sebutkan dalam kitab Taubat.

Bagian kedua: Ketaatan

Ketaatan ini, sah dan keutamaannya tergantung pada niat. Namun pada asalnya hendaknya ia dilakukan atas niat beribadah kepada Allah, bukan kepada yang lainnya. Jika ia berniat riya' maka ketaatan itu berubah menjadi maksiat.

Adapun berlipatnya keutamaan dapat diraih dengan banyaknya niat baik. Sesungguhnya satu kebaikan dapat diniatkan untuk banyak kebaikan, lalu ia akan mendapatkan pahala pada setiap niatnya…

Karena setiap satu niat mendapatkan satu kebaikan dan setiap satu kebaikan akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.

(sampai beliau mengatakan)

Bagian ketiga: Hal-hal yang mubah (Mubahat)

Dan tidaklah satu hal yang mubahpun kecuali dapat mengandung satu niat atau lebih yang bisa mengubahnya menjadi ibadah kebaikan dan dapat meraih derajat yang tinggi.

Maka alangkah ruginya orang yang melalaikannya dan melakukannya sebagaimana binatang yang tidak punya kepentingan sama sekali…"

[Ihya' Ulumuddin IV/388-391]


Maka, jelaslah bahwa segala bentuk kemaksiatan (dosa) terlebih kemaksiatan terbesar yakni kekufuran dan kesyirikan tidak serta merta menjadi halal (boleh) dengan alasan niat baik atau tulus, akan tetapi harus dengan dalil syar’i yang menjelaskannya.

Contoh sederhana:

Daging babi atau bangkai haram dimakan. Maka niat baik - misalkan ketika ada jamuan makan, lalu sang tamu berkata "Ah, aku makan saja (daging babi) ini, demi menghormati tuan rumah. Bukannya menghormati tuan rumah adalah kebaikan ?"– tidak akan dan tidak akan pernah menjadikan perbuatan ini menjadi halal.

Namun, daging babi hanya boleh dimakan ketika dalam keadaaan darurat (antara hidup dan mati) – misalkan tersesat di hutan dan hanya ada binatang babi. Kalau tidak menyembelih dan memakannya, maka akan mati kelaparan - sebagaimana ada dalil syar’i yang menjelaskannya:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍۢ وَلَا عَادٍۢ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ

"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS Al Baqarah [2]: 173)


Wallaahu ta'aala a'lam…

Sifat Dakwah

"Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka akan mengikutimu."
(QS At-Taubah [9]: 42)

Anak-anakku…
Ingat, dakwah sesungguhnya adalah mengemban tugas para Rasul terdahulu.
Ingatkah kalian apa tugas para Rasul?
Tak lain, menyampaikan wahyu Allah kepada umat manusia.

“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’ “
(QS. Yunus [10]: 108)

Jadi catat baik-baik anak-anakku…!
Sebagai juru dakwah, tugas kalian adalah menyampaikan risalah kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat.
Ingat, hanya menyampaikan, bukan yang lainnya.
Da’i bukanlah penghibur.
Tugas da’i bukanlah membuat yang sedih jadi gembira, yang berduka jadi tertawa, yang menangis jadi meringis.
Juga, tugas da’i bukan membuat yang gembira jadi bersedih, yang tertawa jadi menangis hanya karena da’inya hobi menangis.
Tugas da’i juga bukan untuk mengajak asal rukun-damai yang tak tentu arah.
Sekali lagi ingat: Tugas da’i hanya menyampaikan kebenaran.

Lihat para Rasul itu…
Mereka, orang terpilih lagi mulia itu…
Selalu jujur menyampaikan titah Rabbnya.
Tak ada yang dikorupsi meski hanya satu huruf.
Semua kebenaran mereka sampaikan kepada kaumnya apa adanya.
Tak peduli kaumnya suka atau tidak, pro atau kontra.
Selagi itu kebenaran, mereka akan selalu menyampaikannya.
Bukankah ada Nabi yang tak dapat pengikut meski telah lama berdakwah ?
Ada yang hanya dapat pengikut 4 – 9 orang.
Nabi Nuh bahkan hanya mendapat pengikut belasan orang setelah berdakwah selama 950 tahun.

Apa kalian mengatakan bahwa para Nabi itu tak paham sosiologi?
Tak pandai uslub dakwah?
Tak paham fiqih dakwah?
Tak paham psikologi masyarakat?
Kalian tak akan berkata demikian bukan?
Karena mereka adalah manusia-manusia pilihan.
Mereka hanya diminta menyampaikan dan bukan mengejar jumlah pengikut.
Tugas mereka hanya menyampaikan hidayatul-bayan (petunjuk keterangan), selanjutnya hidayatut-taufiq (petunjuk mengikuti kebenaran) adalah urusan Allah ta’aala.

Jadi kalian jangan tertipu oleh da’i-da’i masa kini yang beralih profesi menjadi penghibur.
Kerjanya hanya menghibur dan membuat tertawa ummat.
Kalian jangan tertipu meski mereka memiliki pengikut jutaan.
Karena tidak sedikit dari mereka, untuk bermaksud memiliki pengikut banyak, menempuhnya dengan mengkorup kebenaran.
Kebenaran ditutup-tutupi hingga tidak pernah sampai kepada ummat.
Kebenaran dipilih-pilih yang sesuai dengan selera umat dan yang tidak menyinggung perasaan mereka.
Akhirnya umat tidak pernah tahu kebenaran sejati.
Kalau sudah demikian, sesungguhnya misi dakwah telah gagal.
Ingat-ingat itu…!
Misi dakwah telah gagal.


Anak-anakku…
Ingat-ingat…!
Kalian juga harus membedakan antara tujuan dan harapan dakwah.
Tujuannya adalah menjalankan kewajiban dan mencari ridha Allah semata.
Harapannya adalah objek dakwah dapat menerima dan mengikuti kebenaran.
Tujuan harus diletakkan di depan baru kemudian harapan.
Jangan dibalik, karena bisa berdampak negatif.
Seseorang yang meletakkan harapan di urutan pertama, ketika mendapati mad’u (objek dakwah) tidak mengikuti ajakannya, akan gampang putus asa.
Selanjutnya, kadang dia terjebak mengubah isi materi yang disesuaikan dengan selera mad’u;
asal mad’u senang,
asal mad’u suka.
Dan itulah awal kegagalan si da’i.
Ingat-ingat…!
Awal kegagalan si da’i.


Hudzaifah ibnul Yaman radliyallaahu ‘anhu berkata :

“Manusia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa salam tentang  kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena  khawatir jangan-jangan menimpaku.

Maka aku bertanya :

‘Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan (Islam) ini. Apakah setelah ini ada keburukan ?’

Beliau bersabda : 'Ada'.

Aku bertanya : ‘Apakah setelah keburukan itu akan datang  kebaikan ?’

Beliau bersabda : ‘Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun.’

Aku  bertanya : ‘Apakah dakhanun itu ?’

Beliau menjawab : ‘Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain  petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah.’

Aku bertanya : ‘Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan ?.

Beliau bersabda : Ya, da'i - da'i yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahi(mengikuti)nya, maka  akan dilemparkan ke dalamnya.’


Aku bertanya : ‘Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku.’

Beliau bersabda : ‘Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita.’

Aku bertanya : ‘Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya ?’

Beliau bersabda : ‘Berpegang teguhlah pada Jama'ah Muslimin dan imamnya.’

Aku bertanya : ‘Bagaimana jika tidak ada jama'ah maupun imamnya ?’

Beliau bersabda :

‘Hindarilah semua firqah (kelompok) itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu’ “.

[HR Imam Al Bukhari VI615-616, XIII/35; Imam Muslim XII/135-238; Imam Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14; Imam Ibnu Majah no. 3979, 3981; Imam Al Hakim IV/432; Imam Abu Dawud no. 4244-4247; Imam Ahmad V/386-387]

wallaahu a'lam bish-shawwab

Sumber:

Ceramah Ustadz Abdullah Sungkar rahimahullaah disertai tambahan di pembuka (ayat) dan di penutup (hadits)

Shabran Yaa Nafsiy



صَبْرًا يَا نَفْسِي صَبْرًا يَا نَفْسِي صَبْرًا يَا نَفْسِي مَعَنَا الله
shabran yaa nafsiy…shabran yaa nafsiy…shabran yaa nafsiy ma’anallaah
sabarlah wahai jiwaku…sabarlah wahai jiwaku…sabarlah wahai jiwaku, Allah bersama kita…

وَالْقُدْسُ تُنَادِي وَالْقُدْسُ تُنَادِي وَالْقُدْسُ تُنَادِي صَرَخَتْ آه
wal-qudsu tunaadiy…wal-qudsu tunaadiy…wal-qudsu tunaadiy sharakhat aah
dan Al Quds memanggil…dan Al Quds memanggil…dan Al Quds memanggil (sambil) berteriak “aahh”…

صَبْرًا فَطَرِيقِي صَبْرًا فَطَرِيقِي صَبْرًا فَطَـرِيقِي مِنْ نِـيرَان
shabran fathariiqiy…shabran fathariiqiy…shabran fathariiqiy min-niiraan…
sabarlah karena jalanku…sabarlah karena jalanku…sabarlah karena jalanku berasal dari api…

وَالْحُـورُ تُنَادِي وَالْحُـورُ تُنَـادِي وَالْحُـورُ تُنَـادِي لِلرِّضْـوَان
wal-huuru tunaadiy…wal-huuru tunaadiy…wal-huuru tunaadiy lir-ridhwaan…
dan bidadari memanggil…dan bidadari memanggil…dan bidadari memanggil menuju kesenangan…

أَتَذَكَّرُ لَمَّا وَدَّعْتُكِ يَوْمًا وَبَكَيْتِ عَلَيَّ مِنَ اْلإِشْفَاق
atadzakkaru lammaa…wadda’tuki yaumaa…wabakaiti ‘alayya minal-isyfaaq…
aku ingat ketika…aku pamit padamu suatu hari…dan engkau menangisiku karena iba…

قُلْتِ يَا وَلَدِي لاَ تَكْوِي كَبِدِي تَقْتُلُنِي الذِّكْرَى وَاْلأَشْوَاق
qulti yaa waladiy…laa takwiy kabidiy…taqtulunidz-dzikra wal-asywaaq…
engkau katakan “wahai anakku…jangan engkau hancurkan hatiku…ingatan dan kerinduan akan membunuhku”…

فَخَرَجْتُ لأَنِّي أُبْصِرُ فِي بَلَدِي كُفْرًا يَتَسَلَّطُ فِي اْلأَجْوَاء
fakharajtu li anniy…ubshiru fii baladiy…kufran yatasallathu fil-ajwaa'…
aku pergi karena aku…melihat di negeriku…kekafiran berkuasa di mana-mana…

فَحَمَلْتُ سِلاَحِي وَرَفَعْتُ لِوَائِي وَخَرَجْتُ أُقَاتِلُ فِي اْلأَعْدَاء
fahamaltu silaahiy…wa wafa'tu liwaa'iy…wa kharajtu uqaatilu fil-a'daa'…
lalu aku panggul senjataku…dan aku naikkan benderaku…lalu aku pergi memerangi musuh…

فِي الْجَنَّةِ أَحْدُو وَأُغَـرِّدُ أَشْدُو وَأُرَتِّلُ آيَـاتِ الْقُـرْآن
fil-jannati ahduu…wa ugharridu asyduu…wa urattilu aayyaatil-qur'aan…
di Surga ku bernyanyi…diliputi kebahagiaan…dan aku membaca ayat-ayat Qur’an…

وَأُقَابِلُ فِيهَا زَوْجِي وَبَنِيهَا وَأُعَانِقُ أَهْـلِيَ وَالإِخْوَان
wa uqaabilu fiiHaa…zaujiy wa baniiHaa…wa u'aaniqu aHliy wal-ikhwaan…
dan di dalamnya aku bertemu…istri dan anakku…serta aku peluk keluarga dan saudara-saudaraku…


Download Nasyid:

Tinggallah Impiannya dan Diri Ini

Kantuk terasa berat, tapi ku tak bisa tidur sepanjang malam tadi..
Sabtu, 29 Jumadil Akhir 1428 (14 Juli 2007), hari itu teringat kembali ...
Meski selalu teringat hari itu hampir sepanjang hari...
Tapi terasa berbeda di malam tadi...

Dan (In syaa’Allaah) ku kan selalu ingat hari-hari sebelum hari itu…
Meski tak baik berlarut-larut dalam kesedihan...
Namun ingatan ini agar aku merasa ia selalu dekat, meski kini ia jauh...
Dan agar aku selalu teringat akan harapan dan impiannya terhadapku...
Dan sebagai pelecut bagiku agar bisa mewujudkan impiannya itu...

Kini, beberapa impiannya sedikit demi sedikit telah aku capai...
Aku berharap ia melihat pencapaianku, meski sesungguhnya tak bisa...

Segala kejadian telah tercatat di Lauh Mahfuzh sebelum hal itu tercipta...
Demikian pula hari itu telah tercatat di sana…
Jam, menit, detik...
Tak bisa dimajukan dan tak bisa diundur kecuali atas kehendakNya...

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍۢ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍۢ فَخُورٍ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(QS Al Hadiid [57]: 22-23)

Maka sekarang, tinggallah hari ini dan hari esok yang tersisa...
Dan yang tersisa darinya adalah impian dan diri ini...
Impiannya terhadap diri ini yang sesuai syar'iy...
Dan diri ini yang bisa menjadi amal yang tak terputus baginya...

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seorang hamba meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kebaikan bagi orang tuanya.”
[HR. Imam Muslim dalam Shahih Adabul Mufrad, hlm. 45]


Oh betapa ku ingin agar dosa-dosaku bisa terhapus sebelum hari itu…

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhu bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya ?”
Maka beliau bertanya: “Apakah Ibumu masih hidup ?”
Laki-laki itu menjawab: “Tidak.”
Kemudian beliau bertanya lagi: “Kalau bibimu masih ada ?”
Laki-laki itu menjawab: “Ya” .
Lalu beliau bersabda: “Berbuat baiklah padanya”.
[HR Imam At Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul , 1/406]

Maka kini ku hanya bisa bertaubat kepadaNya sebisaku…

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya seseorang mendatanginya lalu berkata:
“Aku meminang wanita, tapi ia enggan menikah denganku. Dan ia dipinang orang lain lalu ia menerimanya. Maka aku cemburu kepadanya lantas aku membunuhnya. Apakah aku masih bisa bertaubat ?”
Ibnu Abbas berkata: “Apakah ibumu masih hidup ?”
Ia menjawab: “Tidak.”
Ibnu Abbas berkata: “Bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan dekatkanlah dirimu kepadaNya sebisamu.”
Atha’ bin Yasar berkata: “Maka aku pergi menanyakan kepada Ibnu Abbas kenapa engkau tanyakan tentang kehidupan ibunya ?”
Maka beliau berkata: “Aku tidak mengetahui amalan yang paling mendekatkan diri kepada Allah ta’ala selain berbakti kepada ibu.”
[HR. Imam Bukhari dalam Shahih Adabul Mufrad, hlm. 34]

Betapa ku ingin senandungkan sebuah sya’ir tanpa musik dan petikan gitar…

“Ribuan kilo…Jalan yang kau tempuh…Lewati rintangan…Untuk aku, anakmu…
Ibuku sayang…Masih terus berjalan…Walau tapak kaki…Penuh darah, penuh nanah…
Seperti udara…Kasih yang engkau berikan…Tak mampu ku membalas…Ibu…”

Kini, ku berusaha memberikan beberapa amal yang bisa sampai kepadanya…
Serta menjadi shalih dan syahid yang bisa membantunya…

Orang yang mati syahid akan mendapatkan tujuh keutamaan:
Akan diampuni dosa-dosanya seketika saat pertama kali darahnya mengalir, akan diperlihatkan tempatnya di Surga, akan dikenakan perhiasan iman, akan dinikahkan dengan 72 bidadari, akan terhindar dari fitnah kubur, akan aman dari kegoncangan besar pada Hari Kiamat, akan dikenakan mahkota kebesaran dari intan di atas kepalanya yang nilainya lebih baik dari dunia dan seisinya, dan akan memberikan syafa’at 70 manusia dari kerabatnya.”
[HR. Imam Tirmidzi dalam Shahihul Jami’ no 5058]

Dan tak lupa untuk menyenandungkan do’a untuknya…

رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فِى عِبَادِكَ ٱلصَّٰلِحِينَ

"Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk untuk tetap mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai, serta masukkanlah aku dengan rahmatMu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang shalih.”
(QS. Al Naml [27]: 19)

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk untuk tetap mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang Muslim.”
(QS Al Ahqaaf [46]: 15)


Fa shabran jamiila, shabran…


Bandung, 30 Rajab 1434 (9 Juni 2013)
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. The Last Smile - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger